Scroll untuk baca
baturajaOpiniSumsel

Antara Idah dan Quru’

×

Antara Idah dan Quru’

Sebarkan artikel ini
Ust.Ahmad Yasin,S.H.I.,M.Pd. Dosen Pendidikan Agama Islam UNBARA, Penyuluh Agama Islam dan Pengurus NU Kab. OKU

Antara Idah dan Quru’

Ust. Ahmad Yasin,S.H.I.,M.Pd.

Dosen Pendidikan Agama Islam Unbara, Pengurus NU dan Penyuluh Agama Islam OKU.

Pernikahan seringkali di bayangkan sebagai kehidupan indah, bahagia dan menyenangkan. Apalagi jika menikah dengan orang yang kita cintai.

Harapan kebahagiaan sempurna seakan sudah terpampang di depan mata. Namun kenyataannya tidak selalu demikian.

Ada banyak masalah ataupun ketidakseimbangan dalam pernikahan yang bisa jadi menyebabkan suami istri terpaksa cerai.

Lalu bagaimana etika bercerai dalam pandangan Islam?

Dalam kitab Adâbul Islâm fî Nidzâmil Usrah, Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki (wafat Jumat 15 Ramadhan 1425 H)  mengatakan, bila perceraian dapat memutuskan tali ikatan keluarga, melemahkan kesatuan umat dan memanaskan hati.

Perceraian juga menampakkan aib yang seharusnya tertutup. Selain itu perceraian juga berdampak pada kebingungan anak-anak dalam memilih pengasuhan. Tidak jarang perceraian menjadikannya kekurangan kasih sayang karena perselisihan orang tua.

Pernikahan adalah ikatan suci di antara laki-laki dan perempuan dalam Islam. Agama mengajak setiap suami dan istri untuk berkomitmen menjaga langgengnya pernikahan.

Beratnya badai permasalahan hidup tidak boleh sampai menghancurkan bahtera rumah tangga. Kehidupan memang selalu menyimpan kebahagiaan dan kesedihan yang terus berganti tetapi bukan alasan untuk memutus tali pernikahan.

Ajakan agama Islam untuk melanggengkan pernikahan tercermin dalam sabda Rasulullah:

قال رسول الله أبغض الحلال إلى الله تعالى الطلاق

Artinya, “Rasulullah bersabda, ‘Perkara halal yang paling dimurkai oleh Allah adalah (jatuhnya) talak,’” (HR Abu Dawud).

Pada dasarnya, keputusan untuk menjatuhkan talak adalah milik suami. Sedangkan, hikmah di baliknya menurut Dr. Wahbah Zuhaili adalah

1. Perempuan pada umumnya lebih sensitif perasaannya daripada laki-laki.

Seandainya keputusan menjatuhkan talak di miliki oleh perempuan, niscaya ia akan mudah menjatuhkan talak dengan alasan-alasan yang remeh yang tidak sepatutnya menjadi alasan perceraian.

2. Jatuhnya talak berhubungan erat dengan urusan harta yang di bebankan kepada suami.

Di antaranya adalah kewajiban melunasi mahar (ketika suami memberikan mahar dalam bentuk cicilan).

Nafkah istri pada masa iddah, serta pemberian hadiah mut’ah (pemberian hadiah sebab jatuhnya talak). Tanggungan harta ini tentu menjadikan suami sangat berhati-hati dalam menjatuhkan talak.

Adapun perempuan pada umumnya tidak mengalami kerugian secara materi dengan jatuhnya talak.

Seandainya keputusan menjatuhkan talak di miliki oleh perempuan, niscaya ia akan mudah menjatuhkan talak ketika ia menilai tidak ada kerugian secara materi dengan jatuhnya talak. (Dr. Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu [Damaskus: Darul Fikr, 2002], juz IX, halaman 6877).

Sedangkan istri memiliki empat cara untuk mewujudkan perceraian dengan suaminya, yaitu:

1. Istri meminta cerai kepada suaminya.

Ini adalah cara yang paling mudah akan tetapi membutuhkan keputusan suami untuk menjatuhkan talak. Seandainya suami tidak mau untuk menjatuhkan talak, maka perceraian tidak dapat terjadi.

Perlu di ingat bahwa agama islam melarang perempuan untuk meminta di ceraikan tanpa alasan mendesak yang di legalkan oleh syariat.

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah:

قال رسول الله أيما امرأة سألت زواجها طلاقا في غير ما بأس فحرام عليها رئحة الجنة

Artinya, “Rasulullah bersabda ‘Barang siapa yang meminta talak kepada suaminya tanpa sebab yang mendesak (al-ba’s) maka haram baginya (perempuan tersebut) bau harumnya surga,’” (HR Abu Dawud).

Syekh Abdurrauf al-Munawi berkomentar “Maksud dari lafal al-Ba’s (البأس) dalam hadits ini adalah, keadaan mendesak yang memaksanya menuju perceraian.

Seperti kekhawatirannya (sang istri) tidak mampu memenuhi perintah Allah yang di bebankan kepadanya (sang istri) selama pernikahan,” (Al-Munawi Abdurrauf, Faidhul Qadir, [Mesir, Maktabah Tijariyah: 2002 M], juz III, halaman 137).

2. Istri mengajukan khuluk kepada suami.

Khuluk menurut syariat adalah jatuhnya talak dengan adanya timbal balik (‘iwadh) materi yang di sepakati.  Pada umumnya, khuluk terjadi karena keinginan istri untuk bercerai dari suaminya.

Khuluk menurut qaul jadid mazhab Syafi’i adalah, talak ba’in sughra di mana suami tidak boleh ruju’ dengan istri selama masa ‘iddah dan suami membutuhkan akad nikah yang baru agar dapat kembali kepada istri yang telah khuluk. (Syihabuddin Ar-Ramli, Fathur Rahman [Beirut: Darul Minhaj, 2009] halaman 780).

Penyebutan (sighat) khuluk juga harus menyebutkan bentuk timbal balik (‘iwadh) yang di ketahui nominalnya serta memiliki nilai ekonomi.

Seandainya bentuk timbal balik (‘iwadh) tidak di ketahui bentuknya (majhul) ataupun berupa barang yang najis seperti arak dan sejenisnya ataupun berupa barang yang tidak di legalkan dalam syariat Islam.

Maka di tetapkan ukuran mahar mitsl (mahar yang berpatokan kepada mahar kerabat perempuan sang istri) sebagai bentuk timbal balik (‘iwadh).

Selain itu, khuluk yang di ajukan oleh istri termasu akad ju’alah (sayembara).
Karena penyebutan (sighat) khuluk dari perempuan pada umumnya adalah

“seandainya kamu mau menjatuhkan talak kepadaku, niscaya kamu akan mendapatkan harta sekian.”

Oleh karena itu, khuluk yang di ajukan istri sangat membutuhkan persetujuan dari suami, seandainya suami tidak mau menceraikan maka khuluk tidak dapat berakibat talak. (Al-Juwaini Abdul Malik, Nihayatul Mathlab [Beirut, Darul Minhaj: 2007 M], juz XIII, halaman 328).

3. Istri mengajukan fasakh nikah kepada pengadilan agama.

Pada umumnya fasakh nikah adalah istri mengajukan kepada hakim untuk menjatuhkan fasakh nikah karena suami tidak mampu menafkahi dengan paling sedikitnya nafkah dari harta yang halal.

Misal, suami jatuh miskin hingga tidak mampu menafkahi sedikitpun ataupun suami mampu menafkahi tapi dari pekerjaan yang haram maka istri boleh meminta fasakh nikah kepada hakim.

Menurut Ibnu Shalah, istri juga berhak mengajukan fasakh nikah seandainya suami meninggalkannya.

Dan tidak di ketahui keberadaannya serta tidak memberikan nafkah sedikitpun (Ad-Dimyathi Abu Bakar Syatha, ‘Ianah Ath-Thalibin [Beirut: Darul Fikr, 1997] juz IV, halaman 97).

Sang istri juga di perbolehkan mengajukan fasakh nikah karena suami memiliki cacat fisik (‘aib). Seperti mengalami impoten dan telah menunggu selama satu tahun.

Selain itu, fasakh nikah juga di jatuhkan seandainya suami murtad ataupun tidak memenuhi syarat dan rukun dalam akad nikah. (Al-Imrani Abu Husain Yahya, Al-Bayan fi Mazhabil Imamis Syafi’i  [KSA: Darul Minhaj, 2000] juz IX, halaman 297).

Adapun di Indonesia permintaan fasakh nikah oleh istri karena di tinggal pergi oleh suami tanpa kejelasan dan izin dari istri dapat di ajukan ketika telah di tinggal pergi selama dua tahun.

Hal ini sebagaimana dalam Pasal 39 UU.No.1/1974 jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang berbunyi

“Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin dari pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena ada hal lain yang di luar kemampuannya.”

Adapun fasakh nikah karena cacat fisik juga telah tercantum dalam Pasal 39 UU.No.1/1974 jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang berbunyi

“Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri”.

Sedangkan, fasakh nikah karena suami murtad juga telah tercantum dalam Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi

“Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.”

4. Istri melaporkan kepada hakim terkait pertikaian Dengan Suami

Menurut ulama mazhab Syafi’I, hakim harus menasihati suami agar merubah sikapnya kepada istri dan hakim juga berhak menghukum (takzir) suami.

Seandainya ia tidak merubah sikapnya terhadap istri. Seandainya perselisihan diantara suami dan istri bertambah parah.

Maka hakim dapat mengangkat satu perwakilan dari pihak suami dan satu perwakilan dari pihak istri untuk memusyawarahkan permasalahan keduanya atas izin suami dan istri.

Konsepnya adalah suami mewakilkan kewenangan menjatuhkan talak dan menerima khulu’ kepada perwakilan dari keluarganya, sedangkan istri mewakilkan kewenangan mengajukan khulu’ kepada perwakilan dari keluarganya.

Maka, kesepakatan perwakilan dari suami dan istri berhak memberikan keputusan talak, khulu’, maupun tetap melanjutkan pernikahan suami dan istri tersebut. (Asy-Syirbini Muhammad bin Ahmad, Mughni Muhtaj ila Ma’rifati Alfadz Minhaj, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1994 M], juz IV, halaman 429).

Hal ini sesuai dengan firman Allah:

وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلحا يفق الله بينهما إن الله كان عليما خبيرا

Artinya,“Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya (suami dan istri), maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan.

Jika keduanya (juru damai tersebut) bermaksud mengadakan perdamaian, niscaya Allah memberi petunjuk kepada keduanya (suami dan istri). Sungguh Allah Maha Mengetahui Maha Teliti,” (Qs An-Nisa’ ayat 35).

Di Indonesia, penerapan Pasal 39 UU.No.1/1974 jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975.

Berbunyi “Antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga” adalah sesuai dengan pendapat mazhab Maliki.

Akan tetapi hal ini, setelah hakim memberikan nasihat dan bimbingan kepada suami agar tidak menyakiti istrinya.

Apabila suami tetap menyakiti istrinya, maka hakim berhak menceraikan istri dari suaminya.

وقيل لا تطلق نفسها إلا بعد الرفع للحاكم فإن الحاكم يزجره ابتداء بما يقتضيه اجتهاده من توبيخ أو سجن أو غيره فإن عاد لمضارتها قضي عليه بالطلاق

Artinya, “Dan di katakan bahwa perempuan tidak boleh menceraikan dirinya sendiri sebelum melaporkan kepada hakim, karena hakim wajib memperingatkannya (suami) dengan keputusan yang sesuai dengan ijtihadnya seperti mencela (kejahatan), memenjarakannya (suami), dan sejenis.

Apabila dia (suami) mengulangi perbuatan menyakitinya (istri) maka hakim berhak memutuskan cerai kepadanya (suami),”

(Asy-Syinqiti Muhammad bin Ahmad, Lawami’ud Durar fi Hatki Astaril Mukhtashar, [Beirut: Dar Ridhwan, 2015 M], juz VI, halaman 644).

Simpulan di sini adalah syariat islam sangat menjaga agar sebisa mungkin tidak terjadi perceraian di antara suami dan istri.

Akan tetapi, istri juga memiliki hak untuk melindungi dirinya dari kekerasan ataupun sifat buruk dari suaminya dengan mengajukan perceraian.

Hal ini sesuai dengan konsep talak yang berupa “Mempertahankan pernikahan dengan cara yang baik ataupun melepaskan ikatan pernikahan dengan cara yang baik”

sebagaimana dalam ayat Al-Qur’an.

الطلاق مرتان فإمساك بمعروف أو تسريح بإحسان

Artinya, “Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali, maka (suami) dapat menahan (pernikahan) dengan baik ataupun melepaskan dengan baik,” (Qs Al-Baqarah ayat 229).

Cerai

Adapun perceraian melalui persidangan pengadilan negeri agama meskipun secara Islam dapat terjadi cukup dengan suami menjatuhkan talak, adalah salah satu hukum yang harus kita patuhi.

Hal ini sebagaimana perintah al-Qur’an.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ

Artinya,“Wahai orang-orang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu,” (Qs An-Nisa’ ayat 59).

Kebolehan menikah pasca cerai.

Bagi seorang isteri yang telah di cerai suaminya (talak satu), untuk di bolehkan menikah dengan suami baru tidak perlu menunggu sampai talak tiga.

Talak tiga itu bukan untuk membolehkan seorang isteri yang sudah dicerai menikah lagi. Tidak perlu talak tiga, talak satu pun sudah cukup untuk memisahkan pasangan ini.

Yang penting masa iddahnya sudah selesai, maka isteri itu sudah boleh menikah lagi dengan laki-laki lain.

Untuk boleh menikah lagi juga, tidak perlu menunggu sampai satu tahun. Sebab masa iddah itu tidak sampai satu tahun, tetapi hanya tiga kali masa suci dari haidh menurut jumhur ulama.

Ketetapan ini sudah berdasarkan firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ

Wanita-wanita yang di thalak hendaklah menahan dini (menunggu) selama tiga masa quru’. (Al—Baqarah: 228)

“Dia menunggu selama hari-hari quru’nya. “(HR Abu Dawud dan Nasa’i)

Setelah masa tiga kali quru’ terlewat dan suaminya tidak merujuknya, maka seorang wanita sudah boleh menikah lagi.

Ketetapan ini sudah pasti dan tidak boleh di tawar-tawar oleh manusia, termasuk pengadilan agama.

Sebab Allah SWT telah menegaskan berapa lama masa iddah buat seorang isteri yang dicerai suaminya.

Perbedaan Pendapat Tentang Makna 3 kali Masa Quru’

Lama 3 kali masa quru` menurut jumhur ulama adalah tiga kali suci dari haidh. Sebagai ilustrasi sederhana, bila seorang isteri di cerai oleh suaminya pada saat dia suci dari haidh di hari terakhir, masa satu itu sudah di hitung satu kali masa suci.

Kemudian anggaplah dia mendapat haidh selam7 hari, lalu masuk masa suci lagi, sudah di anggap masa suci yang kedua.

Kalau dia haidh lagi dan suci lagi, maka masa suci yang berikutnya adalah masa suci yang ketiga. Saat mendapat kesucian itu, dia sudah selesai dari masa iddahnya.

Saat itu dia sudah boleh menerima pinangan dari laki-laki lain, bahkan sudah boleh menikah dan berumah tangga baru lagi.

Namun ada sebagian pendapat di kalagan ulama yang mengatakan bahwa tiga kali masa quru’ itu adalah tiga kali mendapat haid, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW

“Dia (isteri) ber’iddah (menunggu) selama tiga kali masa haid.“ (HR Ibnu Majah)

Namun lepas dari perbedaan pendapat tentang lama masa iddah buat wanita yang di cerai suaminya, yang jelas tidak sampai setahun setelah talak di jatuhkan. Juga tidak perlu sampai talak tiga.

Kebolehan Menikah Lagi atau kembali jadi suami istri

Seorang suami yang menjatuhkan talak kepada isterinya dengan talak satu, di berikan kesempatan kepada pasangan untuk rujuk tanpa menikah ulang selama masa ‘iddah isterinya masih berlaku.

Bila dalam kurun waktu itu suami berniat rujuk, saat itu juga berlaku rujuk. Cukup di niatkan saja di dalam hati, tidak perlu upacara dan ritual apapun.

Bahkan sebagian ulama mengatakan bila dia mengajak isterinya masuk kamar, maka itu sudah bermakna rujuk.

Selama masa iddah itu, suami lebih berhak untuk merujuk isterinya.

Sedangkan laki-laki lain tidak boleh menikahinya, bahkan meminangnya pun masih di haramkan. Sebagaimana firman Allah SWT:

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُواْ إِصْلاَحًا

Dan suami-suami mereka lebih berhak untuk merujuk mereka, bila memang menghendaki ishlah. (QS Al-Baqarah: 228)

Namun bila masa iddah itu terlewat, suami sudah tidak punya hak apa pun untuk melarang isteri menerima pinangan dari laki-laki lain.

Posisi tawarnya akan seimbang dengan laki-laki manapun. Kalau pun dia ingin kembali lagi, maka semua prosedur pernikahan harus dijalani lagi dari awal.

Mulai dari melamar, memberi maskawin (mahar), akad nikah, ijab kabul, adanya saksi-saksi yang dua orang itu dan juga semua proses lainnya.

Seolah-olah dia adalah laki-laki baru yang masuk dari awal, kecuali bahwa keduanya hanya tinggal punya 2 talak dari tiga talak yang di miliki oleh pasangan baru.

Islam adalah agama cinta damai, agama yang menginginkan keselamatan bagi umatnya.

Perceraianpun diatur sedemikian rupa agar tidak membawa dampak yang buruk bagi suami, istri, maupun anak.

Dengan mengikuti 4 etika cerai dalam pandangan Islam yang sudah di syariatkan.

Kalau pun perceraian tidak bisa di hindari, di harapkan silaturrahim antar keluarga tidak terputus karena perceraian di lakukan dengan cara yang baik.

Walaupun berpisah, hubungan orangtua dengan anak juga tetap terjaga, sehingga kondisi psikologis sang anak tidak terganggu.

Semoga bermanfaat buat pembaca dan penulis, Aamiin…

Trimakasih….

Baca juga :

Akibat Meninggalkan Solat Jumat

Rezeki mu Tak Akan Tertukar

Dapatkan berita terupdate OKU SATU di Google News