Scroll untuk baca
baturajaOpiniSumsel

Budaya dan Kitab Kuning

×

Budaya dan Kitab Kuning

Sebarkan artikel ini
INTI BUDAYA LITERASI
Persembahan Ust. Ahmad Yasin,S.H.I.,M.Pd. DOSEN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNBARA, PENGURUS NU DAN PENYULUH AGAMA ISLAM OKU

Budaya dan Kitab Kuning

Sebagai organisasi yang memegang teguh tradisi, Nahdlatul Ulama (NU) sesungguhnya memiliki kekayaan sosial yang besar.

Di samping berupa simbol-simbol amaliah keagamaan seperti tradisi melantunkan shalawat badar, maulid ad-diba’ atau al-barzanji, kapital sosial lain yang tak kalah penting adalah kekayaan maraji’ yang melimpah dalam Kutub Al-Turats, yakni kitab kuning.

Kitab kuning merupakan media yang menjembatani peradaban masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.

Kitab kuning ini menjadi penghubung peradaban melalui tiga jalur sekaligus, yakni sanad keilmuan, kandungan pemahaman, hingga bahasa pemaknaan.

Seperti di ketahui, kitab kuning adalah buku teks perihal keagamaan yang di tulis oleh para ulama.

Sebagian besar kitab kuning yang di pelajari para santri di tulis oleh ulama terdahulu dengan konteks zaman dan tempat yang jauh berbeda dengan saat kitab itu di pelajari mereka.

Kitab-kitab tersebut masih dan terus di pelajari hingga masa kini oleh para santri di pesantren.

Sebab, merujuk Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (1985), pengajian kitab kuning ini menjadi salah satu unsur wajib atau rukun dalam pesantren, selain kiai, santri, masjid, dan asrama.

Kitab kuning ini di perlombakan dalam Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) tingkat nasional yang digelar Kementerian Agama (Kemenag) di Pondok Pesantren Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur pada 10-18 Juli 2023.

Kegiatan ini merupakan kejuaraan yang menilai kemampuan santri pesantren dalam membaca dan menguraikan kandungan makna dari teks kitab kuning yang dibacanya.

Sanad

Sanad atau mata rantai keilmuan menjadi hal yang tidak terpisahkan dalam ruang lingkup pendidikan pesantren. Para santri mempelajari berbagai macam kitab kepada gurunya.

Gurunya juga mempelajari kitab itu kepada gurunya dan terus bersambung sampai kepada penulisnya. Mata rantai keilmuan itu tak terputus di kalangan para santri ini sampai kepada para ulama terdahulu, sebagaimana di jelaskan Djohan Effendi dalam Pembaruan tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur (2010).

Hal itulah yang selalu di tekankan dalam pendidikan pesantren. Kiai akan memberikan ijazah atau sertifikat yang menandai bahwa santri tersebut telah mempelajari dan d iizinkan untuk mengajarkan kembali kitab tersebut.

Dalam ijazah itu, kiai menyebut silsilah keilmuannya mulai dari nama gurunya, guru dari gurunya, dan terus sampai kepada penulis kitab yang di kajinya.

Sebagai contoh, penulis sempat mengaji kitab Ithaf Ahl al-Islam bi Khusushiyyat al-Shiyam kepada KH Maimoen Zubair di Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah pada Ramadhan 1438 H atau bertepatan pada pertengahan 2017 lalu.

Setelah menamatkan kitab tersebut, penulis mendapatkan selembar fotokopi ijazah yang menyebutkan mata rantai keilmuan KH Maimoen Zubair sampai kepada pengarang kitab tersebut, yakni Imam Ibnu Hajar al-Haitami.

Kontekstualisasi

Kitab-kitab kuning menjadi referensi utama yang menjadi pegangan santri dalam mempelajari ilmu-ilmu agama.

Para kiai yang membacanya akan memberikan penjelasan yang melampaui dari sekadar teks yang di sajikan penulisnya.

Sebab, mereka akan mengutip penjelasan dari berbagai kitab pendukung lainnya, khususnya kitab lain yang menjadi penjelas (syarah/hasyiyah) dari kitab utama.

Pun, para kiai juga akan menyampaikan penjelasan atas makna teks di sesuaikan dengan konteks terkini.

Di tempat mereka tinggal dan konteks zaman yang melatarinya tanpa menafikan konteks sejarahnya.

Kontekstualisasi ini merupakan bagian dari upaya agar kitab-kitab yang di kaji ini relevan dengan kondisi lingkungan dan waktu saat di pelajari.

Misalnya, ada kitab yang di kaji menjelaskan perihal jihad berperang. Bagian ini tentu sudah tidak sesuai dengan zaman dan kondisi terkini.

Namun, teks yang menjelaskan hal tersebut tetap di baca dan di pelajari, tetapi di pahami sebagai khazanah pengetahuan bahwa dulu ada syariat demikian.

Zaman yang terus berkembang dinamis juga menuntut agama untuk terus mengikutinya. Para ulama pun terus memproduksi karya terbaru menyesuaikan isu-isu terbaru yang belum ada di zaman dahulu.

Para santri juga di berikan pemahaman demikian, tidak saja secara formal melalui pengajian, tetapi juga bisa melalui bahtsul masail. Pemikiran mereka atas isu tertentu di ujikan pada forum tersebut guna menemukan realitas hukum yang tepat untuk masalah yang mereka diskusikan.

Di sinilah kitab kuning hadir menempati ruang relevansinya dengan kondisi zaman dan ruangnya. Hal ini pula yang menjadi poin penting dalam penilaian ajang MQK Nasional.

Bahasa pemaknaan

Kitab kuning juga menghubungkan peradaban melalui bahasa dalam pengajarannya. Mayoritas sivitas akademika pesantren masih menggunakan bahasa daerah dalam melakukan pemaknaan atau penerjemahan teksnya.

Para santri biasanya akan membubuhi makna setiap kata yang di sampaikan kiainya di bagian bawah teks pada kitabnya masing-masing.

Proses penulisan makna itu, mengutip Iip Dzulkifli Yahya dalam Ngalogat di Pesantren Sunda Menghadirkan yang Di mangkirkan dalam Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (2009), di sebut sebagai ngalogat dalam tradisi Sunda dan maknani, ngapsahi, atau ngesahi dalam tradisi Jawa. Beberapa literatur ada juga yang menyebutnya njenggoti dalam tradisi Jawa.

Pemaknaan itu tidak hanya menerjemahkan kata, tetapi juga menunjukkan fungsi-fungsi gramatika nya dengan membubuhi artikel khusus.

Seperti utawi (Jawa), adapun dan bermua (Melayu), atau ari (Sunda) untuk menunjukkan fungsi mubtada (subjek).

Kemudian, di tandai dengan mim yang berbentuk tegak; iku (Jawa), itu (Melayu), nyaeta (Sunda).

Untuk menunjukkan fungsi khobar (predikat) dan di tandai dengan kho; sopo (Jawa); dan sebagainya.

Hal ini guna memudahkan para santri dalam mengetahui fungsi gramatika dari setiap kata.

Dalam tradisi maknani berbahasa Jawa, diksi-diksinya juga terkadang berbeda dengan bahasa tuturan. Pilihan diksi ini juga menunjukkan arti yang sekiranya semakna betul dengan teks bahasa Arabnya.

Sebagaimana di ketahui, bahasa tidak lepas dari kulturnya sehingga terdapat disparitas antara teks asli dengan makna terjemahan. Diksi yang dipilih itu diseleksi betul supaya memangkas disparitas itu agar tidak terlalu jauh.

Pilihan diksi terjemahan bahasa daerah yang di pilih kiai biasanya akan di ikuti pula oleh santri-santrinya.

Menurut Iip (2009), hal itu adalah bagian dari takzim santri kepada kiainya, mengikuti segala apa yang dicontohkan kiainya, termasuk dalam soal pilihan diksi atas makna teks yang di kajinya.

Hal demikian menunjukkan keterhubungan makna yang terus diwariskan secara simultan.

Uraian di atas menunjukkan bahwa kitab kuning merupakan jembatan yang menghubungkan peradaban masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.

Sanad yang terus bersambung, pemahaman yang selalu kontekstual, dan bahasa yang senantiasa di wariskan kepada generasi selanjutnya, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kitab-kitab kuning sebagai referensi utama para santri dalam mempelajari dan mendalami pengetahuan agama.

Jika Anda sering mengalami kesulitan dalam memulai tulisan dan membaca kitab kuning, mungkin cara Gus Dur bisa menjadi pilihan alternatif. Akan sangat baik jika Anda bisa menampilkan kisah yang jenaka seperti yang di lakukan Gus Dur di kolomnya yang berjudul Gila NU, NU Gila.

Minimal, meskipun isi dari tulisan Anda “berat”, pembaca terhibur dan tertawa di awal sehingga memutuskan untuk melanjutkan membaca tulisan Anda. (*)

baca juga : 

Makna Ilmu, Ulama, dan Mu’allim

Mengenang Kemerdekaan Kuatkan Keamanan dan Keimanan

Dapatkan berita terupdate OKU SATU di Google News