Ogan Komering UluOpiniSumsel

Keseimbangan Proporsi Agama dan Negara

×

Keseimbangan Proporsi Agama dan Negara

Sebarkan artikel ini
INTI BUDAYA LITERASI
Persembahan Ust. Ahmad Yasin,S.H.I.,M.Pd. DOSEN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNBARA, PENGURUS NU DAN PENYULUH AGAMA ISLAM OKU

Keseimbangan Proporsi Agama dan Negara

Oleh: Ahmad Yasin S.H.I.,M.Pd.

Dosen Pendidikan Agama Islam UNBARA.

Penyuluh Agama Islam dan Pengurus NU Kab. OKU

Agama dan politik menjalin hubungan saling mempengaruhi. Dua kata itu membentuk dua istilah yang berbeda, yakni politik agama dan politisasi agama. Yang kemudian membentuk dan menjelma sebuah Negara.

Menteri Agama Gus Yaqut Cholil Qoumas mengharapkan agar agama tidak dijadikan sebagai alat politik, bukan sebagai aspirasi, namun agama sebagai inspirasi.

“Agama hadir bukan untuk dijadikan alat dan kendaraan politik, melainkan untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan kemaslahatan bagi semua umat manusia,” katanya.

Penulis sedikit memperjelas bahwa, Agama yamg mempengaruhi tata Negara. Bukan sebaliknya Negara yang yang menentukan kewajiban ajaran Agama.

Meskipun demi terciptanya perdamian berbangsa dan bernegara pada tataran tertentu Negara memiliki andil penting dalam menjaga stabilitas peribadatannya yang kemudian dituangkan dalam norma-norma kesatuan bernegara dan beragama.

Statemen tersebut tentu menarik perhatian, karena faktanya terdapat keragaman pemikiran mengenai hubungan antara agama dan negara.

Pertama, pemikiran teokratis yang menjadikan agama sebagai dasar negara.

Kedua, pemikiran sekuler yang memisahkan antara agama dan negara.

Dan ketiga, pemikiran kompromistis yang mempertemukan antara agama dan negara.

Ketiga corak pemikiran tersebut memiliki eksistensinya masing-masing. Corak pertama seperti Republik Islam Iran dan Saudi Arabia.

Bedanya Iran berbentuk republik, sedangkan Arab Saudi berbentuk kerajaan. Contoh corak pemikiran kedua seperti Turki ketika dipimpin Kemal Ataruk.

Dan corak ketiga seperti Indonesia yang berbentuk republik tidak berdasarkan agama, juga bukan memisahkan antara agama dan negara, melainkan eksistensi agama menjadi sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan yang Maha Esa. Ketentuan tentang agama ini diperjelas dalam pasal 29 UUD 1945.

Di dalam intern umat Islam di Indonesia, terdapat kelompok Islam politik di satu pihak, dan kelompok politik Islam di pihak lain. Kelompok pertama cenderung bersifat struktural, dan kelompok kedua cenderung kultural.

Kelompok struktural berusaha menjadikan Islam sebagai acuan resmi negara, seperti munculnya gerakan DI/TII, NII, Khilafah Islamiyyah dan sekarang muncul gagasan NKRI bersyariah.

Sedangkan kelompok kedua cenderung menjadikan Islam sebagai pedoman hidup umat dalam perilaku keseharian secara kultural, tanpa harus diformulasikan dalam bentuk formal kenegaraan.

Kelompok ini menjadikan perjanjian Hudaibiyah dan Piagam Madinah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW sebagai acuan dalam menyikapi hubungan agama dan negara.

Jaringan kelompok pertama terlihat global, transnasional. Meskipun gagasan dan gerakan mereka ditolak di berbagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, namun sekarang mereka intensif akan menerapkan di Indonesia.

Di negeri ini pun mereka mulai tertolak karena konsensus nasional Indonesia telah menjadikan Pancasila sebagai ideologi nasional. Dan mereka pun tidak memperoleh ruang di negeri kepulauan ini.

Namun keberadaan mereka tidak bisa dipandang sebelah mata, karena mereka terus melakukan propaganda yang mengaitkan adanya gerakan neo komunisme di satu pihak dengan gerakan neo liberalisme di pihak lainnya.

Dengan propaganda ini sepertinya mereka menghendaki adanya konflik laten antara neo komunisme dan neo liberalisme, sehingga dengan konflik mereka akan mendapatkan momentum untuk menjalankan aksinya lebih lanjut.

Konflik tidak akan terjadi jika pemerintah dan bangsa ini tetap komitmen pada Pancasila dan UUD 1945, serta berkosentrasi penuh dalam mencapai keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat.

Kalau mengambil dari sejumlah sumber dari kitab suci sudah pasti tidak ada satupun agama yang tidak moderat. Oleh karenanya, ketika ada kasus konflik yang berkaitan masalah keagamaan, jangan menyalahkan identitas agama.

Sebab pada hakikatnya agama diturunkan untuk mendamaikan, mengharmonisasikan, serta memoderasikan masyarakat.

Demikian disampaikan oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Bimbingan Masyarakat Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian  Agama, Muharam.

Hal tersebut menyikapi konflik yang belakangan cenderung muncul dari masalah keagamaan.

Muharam merasakan akhir-akhir ini masyarakat terbawa dengan arus politik, sehingga kadang-kadang paham keagamaan yang agak keras bisa muncul.

“Ini salah satu upaya kita untuk merajut persatuan yang tercabik-cabik dengan persoalan politik atau kehidupan lainnya, seperti hukum maupun ekonomi yang dapat menimbulkan perpecahan,” katanya, Senin (19/8).

Menurutnya, agama hendaknya tidak dijadikan alat perpecahan, tapi justru menjadi pemersatu dan memperkuat paham kebangsaan. Karena pada hakikatnya di negeri ini telah mengakui keberadaan agama secara sah.

“Jangan dibalik, agama mengandung paham kekerasan maupun radikalisme. Bukan agamanya yang radikal, mengandung intoleran, kekerasan, tapi penganutnya yang tidak memahami nilai-nilai keagamaan,” urainya.

Melihat kondisi yang demikian, kata Muharam, Kementerian Agama akan merilis Buku Putih Moderasi Beragama yang disusun dari sumber-sumber moderasi sejumlah agama.

Selain didefiniskan, moderasi beragama dilihat dari berbagai aspek, seperti sosiologis, antropoligis, budaya, yang memang satu sama lain saling berkaitan.

“Buku ini mengantarkan tidak hanya pegawai Kemenag, tetapi juga masyarakat luas, terutama para tenaga pengajar di sekolah dan perguruan tinggi, agar mampu mengajarkan moderasi kepada siswa atau mahasiswanya,” terang Muharam.

Ia menjelaskan bahwa moderasi beragama menjadi salah satu target utama Kemenag yang diimplementasikan dalam berbagai kebijakan program.

Hal tersebut agar masyarakat dapat menyuarakan nilai-nilai keagamaan. Yang harus lebih dikedepankan adalah moderasi kehidupan beragama.

“Harapannya, melalui buku moderasi beragama, masyarakat mempunyai keinginan untuk menciptakan program di masyarakat yang dapat membaur semua kepentingan,” pintanya.

Pancasila yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 merupakan ideologi yang berada di tengah (tawasuth) di antara dua kutub pemikiran sekuler yang saling bertentangan antara komunisme di satu pihak dan liberalisme di pihak lain.

Jika Pancasila kuat maka akan menjaga keseimbangan, yang pada gilirannya akan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

Keberadaan agama juga diakomodasi di dalamnya. Hal tersebut, menurutnya, merupakan esensi dasar agama.

Karenanya, jika hal itu dapat diperjuangkan, sejatinya memperjuangkan agama. “Politik adalah cara dan strategi untuk mewujudkannya.

Wallohu a’lam bimuroddihi kullih

 

Dapatkan berita terupdate OKU SATU di Google News

INTI BUDAYA LITERASI
Khutbah Jumat

Jujur dalam Kehidupan Persembahan Ust.Yasin اَلْحَمْدُهِّلِلِالَّذِي تَفَرَّدَفًِأَزَلٌَِّتِهِبِعِزِّكِبْرٌَِائِهِ، وَتَوَحَّدَفًِصَمَدٌَِّتِهِ…