Khazanah IslamOgan Komering UluSumsel

Konsep Sederhana Jadi Imam dan Makmum Dalam Sholat

×

Konsep Sederhana Jadi Imam dan Makmum Dalam Sholat

Sebarkan artikel ini

Konsep Sederhana Jadi Imam dan Makmum Dalam Sholat

Oleh Ust.Yasin
PAI Fungsional Kemenag Kab. OKU

Belakangan ini kita banyak menyaksikan pemandangan yang aneh dan menggelikan saat kita shalat di mall atau stasiun, terminal dan bandara.

Kita melihat banyak sekali orang-orang yang sepertinya berebut menjadi imam shalat, meskipun dari sisi tampilan terlihat tak begitu layak karena hanya memakai kaos dan celana ala kadarnya.

Sementara makmumnya justru banyak yang terlihat lebih pantas dan layak.

Naifnya lagi, saat membaca surat Al Fatihah dan ayat Al Qur’an, mulailah nampak kebodohan dan tak layaknya sang imam yang suka berebut itu.

Jangankan ilmu dan akhlaknya, bab makhorijul qur’an-nya pun kacau balau dan ngawur. Apalagi panjang pendek dan makna serta pemahamannya terhadap apa yang ia baca.

Tulisan ini akan mengulas pandangan Imam Ghazali tentang etika shalat berjamaah yang beliau tuangkan dalam kitab Bidayah al Hidayah.

Poin pertama yang beliau sampaikan adalah konsep payung (umbrella concept) tentang seorang imam yang harus menjaga, atau minimal mempertimbangkan kenyamanan makmumnya.

Konsep ini bisa kita hubungkan dengan kemampuan imam untuk membaca Qiro’at al Fatihah dan bacaan ayat Al Qur-an dengan berbagai model lantunan yang indah, merdu dan tartil.

Perlu juga kita perhatikan bahwa kekhusyu’an bisa jadi sangat terbantu dengan cara bacaan imam yang fasih dan dengan suara yang merdu dan tartil.

Makna kenyamanan dalam shalat ini juga bisa kita hubungkan dengan lama tidaknya sang imam melakukan gerakan shalat.

Poin ini menjadi semakin penting ketika makmum berisikan berbagai macam orang dengan berbagai macam kesibukan.

Akan menjadi tidak bijak jika sang imam memperpanjang tempo bacaan (baik dengan menambah jumlah bacaan atau membacanya dengan cara yang lama) selama shalat.

Kita sudah sering mendengar bahwa kadar lamanya seorang imam bersujud adalah sepanjang tiga kali tasbih (subhana rabbiyal adhimi wabihamdih untuk ruku’, dan subhana rabbiyal a’la wabihamdih untuk sujud).

Kasusnya menjadi berbeda dengan jama’ah di desa atau kampung, dimana imam dan jama’ah sudah memiliki kesepahaman tentang tempo shalat.

Di banyak desa, khususnya di bulan Ramadlan, para jama’ah diberi banyak pilihan.

Mushala A tarawih ekspres (cepat) dengan bacaan biasa, mushala B tarawih sedang dengan bacaan biasa, masjid C tarawih lama dengan bacaan yang merdu.

Poin lain yang disampaikan oleh Imam Ghazali adalah tentang cara makmum bersuara, baik dalam membaca bacaan penanda gerakan shalat (Allahu akbar, sami’a Allahu liman hamidah, atau assalamu’alaikum warahmatullah) atau dalam bacaan-bacaan shalat.

Beliau menyampaikan bahwa sebaiknya makmum cukup bersuara dengan volume yang bisa didengarnya sendiri.

Membaca ini kita diingatkan pada kejadian di banyak tempat akhir-akhir ini, dimana makmum membaca takbir ketika ruku’, sujud, atau gerakan lain dengan volume yang sama kerasnya dengan imam.

Bukannya dilarang, namun akan lebih baik kiranya jika para makmum cukup bersuara lirih. Kembali berkenaan dengan imam, poin selanjutnya mengatakan bahwa setelah imam membaca fatihah di shalat-shalat jahr (shalat dengan membaca keras bacaan fatihah dan surat), ia lebih baik berhenti untuk memberi kesempatan makmum membaca fatihah.

Etika ini ditujukan agar makmum bisa memberikan perhatian penuh ketika sang imam nantinya membaca surat, sehingga mereka bisa merenungi kandungan surat tersebut, atau membenarkan sang imam jika membaca dengan kurang tepat.

Demikian juga menyamai imam dalam bacaan, seperti bacaan Surah Al-Fatihah pada dua rakaat pertama shalat jahr dan salam, sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Ibnu Qasim dalam Hâsyiyatul Bâjûrî, (Terbitan Maktabah al-‘Ulumiyyah, Semarang, Tanpa Tahun, jilid I, halaman 199) berikut ini.
ولا تضر مساواته لإمامه أى في صحة الإقتداء وإن كانت مكروهة مفوتة لفضيلة الجماعة فيما ساوى فيه كما لو قارنه في شيء من أقوال الصلاة وأفعالها التى يطلب فيها عدم المقارنة كالفاتحة والأولتين والسلام وجميع أفعال الصلاة في ابتدائها كأن يبتدئ الركوع معه ويبتدئ السجود معه وهكذا بخلاف دوامها ومعلوم أن التحرم لا بد أن يتأخر فيه عن إمامه احتياطا له

Artinya, “Tidak masalah makum menyamai imamnya. Dalam arti, tidak merusak keabsahan shalatnya. Hanya saja hal itu makruh dan menyebabkan hilangnya fadilah berjamaah, meskipun status makruhnya pada bagian yang disamainya saja.

Demikian juga makruh andai makmum menyamai imam pada bacaan atau gerakan shalat yang dituntut untuk tidak membarengi imam dalam mengawalinya seperti pada bacaan Fatihah pada dua rakaat pertama, salam, dan semua gerakan shalat.

Misalnya, dia mengawali rukuk atau mengawali sujud bareng dengan imam.  Dan seterusnya. Bahkan, tidak dikatakan makruh lagi jika makmum selamanya membarengi imamnya. Apalagi, sudah dimaklumi bahwa dalam takbiratul ihram, makmum wajib mengakhirkan diri dari takbiratul ihram imam, sebagai bentuk kehati-hatian bagi dirinya.”

Berdasar petikan di atas, selayaknya seorang makmum, selain dalam takbiratul ihram, tidak mengawali gerakannya sebelum imam mengawalinya.

Sebab, sebagaimana yang telah disampaikan, mengawali takbiratul ihram sebelum imam, atau juga membarenginya, dapat membatalkan shalat.

Selain itu, imam sendiri ditetapkan untuk diikuti oleh makmum, sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW, “Imam sendiri dibuat untuk diikuti (makmum). Karena itu, janganlah kalian menyalahinya,” (HR Malik).

Tak hanya itu, setiap makmum hendaknya takut akan peringatan Rasulullah SAW dalam hadits lainnya,

“Apakah salah seorang di antara kalian yang mengangkat kepalanya saat imam masih sujud, tidak takut kepalanya diganti dengan kepala seekor himar?” (HR Ahmad).

Bagaimana jika sang makmum berada di barisan paling belakang dan tidak mendengar dengan jelas ketika sang imam membaca surat?.

Dalam kasus semacam ini, sang makmum bisa membaca sendiri surat-surat pilihan. Selain itu, sang imam juga bisa mengulang bacaan fatihahnya, untuk berhati-hati jangan-jangan ketika membaca dengan lantang dan merdu ia sudah terkena godaan setan untuk takabbur, bersombong diri atas kemerduan bacaannya dan riya.

Dengan mengulang fatihah, sang imam bisa ‘menambal’ pahala yang ternodai oleh takabbur tersebut. Lalu kapan sebaiknya makmum memulai gerakan shalat, berpindah posisi menjadi ruku’, sujud, dan seterusnya?.

Imam Ghazali memberikan jawaban dengan menunggu sang imam menyempurnakan gerakannya. Sebagai contoh, ketika imam bergerak dari keadaan berdiri menuju posisi ruku’, sang makmum lebih baik menunggu sang imam menyempurnakan posisi ruku’nya. Begitu juga dengan I’tidal, sujud, dan seterusnya. Bagaimana makmum tahu imam telah sempurna posisinya?.

Dalam keadaan normal dan ideal, sang imam akan berhenti membaca bacaan penanda gerakan shalat ketika posisinya sudah sempurna. Inilah yang mendasari kenapa di pesantren para santri tidak bergerak dari posisi asalnya sebelum imam selesai membaca Allahu akbar, sami’allahu liman hamidah, dan seterusnya.

Berikut adalah petikan pernyataan Syekh Sa‘id ibn Muhammad yang dikemukakan dalam Syarhul Muqaddimah Al-Hadramiyyah:
فإن تقدم يقيناً عليه في غير شد خوف .. لم تصح؛ لخبر: “إنما جعل من الإمام ليؤتم به” و (الائتمام): الاتباع، أما لو شك فيه .. فلا يضر سواء جاء من خلفه، أم من أمامه. والعبرة في التقدم في القائم (بعقبه) أي التي اعتمد عليها من رجليه أو إحداهما، وهو مؤخر القدم مما يلي الأرض (أو بأليتيه إن صلى قاعداً) ولو راكباً (أو بجنبه إن صلى مضطجعاً) أو برأسه إن صلى مستلقياً
Artinya, “Jika makmum yakin mendahului imam, di luar situasi ketakutan, maka tidak shalatnya, berdasarkan hadits, ‘Imam itu dibentuk hanya untuk dimakmumi (diikuti).’ Sehingga makmum yang ragu apakah posisinya mendahului atau tidak, adalah tidak mengapa, baik dirinya datang dari belakang imam atau dari depannya.

Adapun yang menjadi acuan mendahului imam bagi makmum yang shalat berdiri adalah tumit. Maksudnya, tumit kedua kaki atau salah satu kaki yang dijadikan tumpuan.

Tumit sendiri yakni bagian belakang telapak kaki yang menyentuh tanah. Atau, yang menjadi acuan adalah kedua pantat bagi makmum yang shalat sambil duduk, meskipun duduknya di atas sesuatu (seperti kursi, pen.); lambung bagi makmum yang shalat sambil tidur miring; kepala bagi makmum yang shalat sambil tidur telentang.”

Penting juga untuk disampaikan bahwa Imam Ghazali menulis di bab ini bahwa makmum tidak perlu mengangkat tangan ketika qunut, dengan alasan tidak adanya khabar yang menjadi dasarnya.

Ini memang pendapat Imam al-Ghazali. Namun, para ulama sepakat untuk melakukan qiyas pada dalil lain yang menyatakan bahwa etika berdoa kepada Allah adalah dengan mengangkat tangan dengan tinggi yang sewajarnya.

Beberapa memaknai ini sebagai tanda tawadlu’ (merendahkan diri) pada Allah dan beberapa ulama memaknai ini dengan pemahaman yang lain.

Penjelasan lebih jelas tentang hal ini bisa didapatkan di Hujjatu Ahlissunnah wal Jama’ah karangan KH Ali Maksum, Krapyak. Atau konsultasikan dimedia ini “oku satu”. Atau konsultasikan Langsung penyuluh Agama Kantor Kemenag OKU Pada Jam Kerja.
Semoga bermanfaat….

Dapatkan berita terupdate OKU SATU di Google News