Dengan mengulang fatihah, sang imam bisa ‘menambal’ pahala yang ternodai oleh takabbur tersebut. Lalu kapan sebaiknya makmum memulai gerakan shalat, berpindah posisi menjadi ruku’, sujud, dan seterusnya?.
Imam Ghazali memberikan jawaban dengan menunggu sang imam menyempurnakan gerakannya. Sebagai contoh, ketika imam bergerak dari keadaan berdiri menuju posisi ruku’, sang makmum lebih baik menunggu sang imam menyempurnakan posisi ruku’nya. Begitu juga dengan I’tidal, sujud, dan seterusnya. Bagaimana makmum tahu imam telah sempurna posisinya?.
Dalam keadaan normal dan ideal, sang imam akan berhenti membaca bacaan penanda gerakan shalat ketika posisinya sudah sempurna. Inilah yang mendasari kenapa di pesantren para santri tidak bergerak dari posisi asalnya sebelum imam selesai membaca Allahu akbar, sami’allahu liman hamidah, dan seterusnya.
Berikut adalah petikan pernyataan Syekh Sa‘id ibn Muhammad yang dikemukakan dalam Syarhul Muqaddimah Al-Hadramiyyah:
فإن تقدم يقيناً عليه في غير شد خوف .. لم تصح؛ لخبر: “إنما جعل من الإمام ليؤتم به” و (الائتمام): الاتباع، أما لو شك فيه .. فلا يضر سواء جاء من خلفه، أم من أمامه. والعبرة في التقدم في القائم (بعقبه) أي التي اعتمد عليها من رجليه أو إحداهما، وهو مؤخر القدم مما يلي الأرض (أو بأليتيه إن صلى قاعداً) ولو راكباً (أو بجنبه إن صلى مضطجعاً) أو برأسه إن صلى مستلقياً
Artinya, “Jika makmum yakin mendahului imam, di luar situasi ketakutan, maka tidak shalatnya, berdasarkan hadits, ‘Imam itu dibentuk hanya untuk dimakmumi (diikuti).’ Sehingga makmum yang ragu apakah posisinya mendahului atau tidak, adalah tidak mengapa, baik dirinya datang dari belakang imam atau dari depannya.