PAI DI SEKOLAH MAUPUN PTU dan PTA (Umum dan Agama)
Oleh: Ust.Ahmad Yasin,S.H.I.,M.Pd. (Penyuluh Agama Islam OKU)
Berbagai krisis multidimensional yang ada di bangsa ini di sinyalir karena gagalnya pendidikan agama.
Berbagai kasus seperti tawuran antar pelajar, pergaulan bebas,
kekerasan, bahkan radikalisasi dan lain sebagainya adalah output gagalnya penanaman nilai agama.
Pendidkan agama untuk membentuk mahasiswa menjadi manusia yang berkarakter, berakhlakul karimah, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mampu berperan dengan baik di lingkungannya, serta bermanfaat bagi sesama dan lingkungan di sekitarnya.
Pendidikan agama Islam memiliki posisi penting pada dunia pendidikan.
Kemudian Pendidikan Agama Islam (PAI) saat ini menjadi mata kuliah institusional di perguruan tinggi.
Baik perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS).
Pembelajaran mata kuliah ini di terapkan di seluruh jurusan.
Tujuannya menguatkan dan mengembangkan dasar dan pondasi keagamaan mahasiswa (Hayat, 1970).
Pembelajaran PAI di perguruan tinggi hakikatnya adalah kelanjutan dari pendidikan agama Islam yang ada, yang sudah di ajarkan sejak jenjang TK sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas (Mun’im, 1996, Budianto, Yang, & Esa, 2016).
Pendidikan agama yang di ajarkan di jenjang TK dan SD menekankan pendidikan akhlak.
Pada tingkat SMP atau MTs menekankan pada amaliyah.
Sedangkan pada tingkat SMA atau Aliyah menekankan pada munakahat dan Ubudiyah lainya.
Maka pembelajaran PAI di perguruan tinggi hendaknya lebih menekankan dan fokus pada pemikiran Islam.
Dengan mengkaji para pemikir Islam di harapkan mahasiswa lebih mendalami lagi tentang Islam.
Dengan di berlakukannya mata kuliah PAI sebagai mata kuliah wajib yang harus di pelajari di perguruan tinggi negeri dan swasta, maka pendidikan agama telah memiliki landasan yang kokoh untuk diajarkan.
Pendidikan agama di anggap sebagai media efektif dalam internalisasi karakter luhur pada mahasiswa.
Yang seharusnya mampu mengantarkan mahasiswa menjadi manusia unggul yang berakhlak alkarimah serta menjadi insan kamil sesuai yang di harapkan.
Pendekatan keagamaan di lakukan lewat bimbingan, pelatihan dan pengajaran untuk mengarahkan dan mendorong siswa untuk mempunyai citarasa beragama Islam (Muhaimin, 2004).
Tujuan pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di PTU adalah membentuk kepribadian dan karakter mahasiswa agar berperilaku religius.
Mata kuliah PAI tidak semata-mata di berikan kepada mahasiswa hanya untuk memahami ajaran Islam saja.
Tetapi lebih dari itu, di harapkan para mahasiswa setelah mengambil mata kuliah ini tertanam pada diri mereka nilai-nilai ajaran Islam yang terpancar pada sikap dan perilaku mereka sehari-hari.
Materi ajaran Islam bukan hanya bersifat informasi dan normatif semata.
Tetapi di harapkan mampu membentuk karakter mahasiswa yang religius selaras dengan ajaran-ajaran Islam (Kawakip, 2017).
Perilaku religius yang di maksudkan adalah tidak hanya sebatas pengamalan ibadah yang bersifat rutinitas semata seperti sholat, puasa dan lain sebagainya.
Tapi lebih bermakna luas. Yaitu setiap mahasiswa mampu mengamalkan setiap nilai-nilai dari ajaran yang terkandung dalam agama Islam.
Seperti toleransi, saling menghargai dan menghormati, tidak memaksakan kehendak, jujur, dan lain sebagainya.
Namun sayangnya, harapan tersebut belum mampu di realisasikan pendidikan agama Islam atau PAI di karenakan belum berperan secara optimal.
Meskipun pendidikan agama di wajibkan untuk di ajarkan, sayangnya belum berdampak maksimal pada perilaku siswa.
Realita di lapangan banyak sekali di temukan penyimpangan moral yang di lakukan para mahasiswa didik atau mahasiswa.
Hal ini mengisyaratkan bahwa pembelajaran PAI di PTU sedang mengalami problematika serius, baik dalam ranah konseptual maupun operasionalnya.
Problematika tersebut di sinyalir menjadi sebab gagalnya output pendidikan agama.
Ini dapat di lihat dari berbagai perilaku menyimpang yang di lakukan para mahasiswa.
Seperti kasus kekerasan, korupsi, abuse of power, tawuran antar pelajar baik dalam satu lembaga pendidikan maupun antar lembaga pendidikan, pergaulan bebas dan lain sebaginya.
Bahkan pada beberapa kampus menjamur paham-paham radikalisme di kalangan para mahasiswanya.
Paham keIslaman yang keras, ekstrim dan radikal banyak bersarang di perguruan tinggi umum.
Pendidikan agama Islam yang di ajarkan di kampus secara formal menimbulkan rasa ketidakpuasan mahasiswa, sehingga mereka cenderung meremehkannya dan menganggapnya hanya sebagai pelengkap SKS.
Nilai-nilai Islam yang di ajarkan hanya sebatas pengetahuan semata, tidak menginternalisasi kedalam diri dan kepribadian mereka.
Sehingga mereka berfikir sempit dan menjadi sasaran empuk untuk di masuki pemahaman radikalisme yang di tanamkan oleh kelompok-kelompok radikal.
Banyak analisis yang mengatakan perekrutan kebanyakan di lakukan di perguruan tinggi umum khususnya mahasiswa di fakultas eksakta (Huda, 1995).
Hal tersebut berakibat para mahasiswa mencari sumber dan pengajaran di luar kampus.
Mereka mendapatkan pengajaran dari berbagai kelompok mulai dari yang bersifat tekstual normatif, pragmatis, liberal, bahkan radikal.
Kelompok-kelompok tersebut lebih seksi dan lebih menawarkan banyak warna dalam metode dan pendekatan dalam pembelajaran agama Islam.
Perbedaan metode dan pendekatan yang tersebut yang menjadikan para mahasiswa mencari alternatif lain untuk belajar PAI di luar daripada di kampus mereka sendiri.
Pedidikan agama yang ada di perguruan tinggi umum baik negeri maupun swasta seakan-akan hanya formalitas belaka.
Pendidikan yang di suguhkan hanya untuk memenuhi dan melengkapi kurikulum pendidikan yang di isyaratkan, serta pelaksanaannya cenderung hanya memperhatikan aspek kognitif saja dan mengabaikan aspek afektifnya (Sulaiman, 2015).
Pendidkan agama Islam yang di ajarkan di perguruan tinggi umum terkesan kaku, dogmatis, serta kurang menarik.
Pengajaran di lakukan melalui ceramah-ceramah yang berisi perintah dan aturan yang membuat mahasiswa jenuh dan meremehkan.
Para pendidik pun kurang memberikan teladan dalam bersikap dan berperilaku.
Ketidakefektifan dan ketidakefisienan daripada capaian tujuan pendidikan agama Islam menjadi problem dan dilema tersendiri bagi lembaga pendidikan.
Salah satu faktornya adalah pemilihan dan penetapan strategi yang kurang sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Padahal untuk memperoleh keberhasilan dalam mencapai tujuan, pembelajaran harus menetapkan strategi yang sesuai dengan arah tujuan pembelajaran tersebut (Sanjaya, 2018).
Metode ceramah yang di gunakan pada pendidikan Agama Islam menjadikannya terkesan mandul dalam mengkonstruksi insan yang ideal.
Dan berimplikasi negatif terhadap peserta didik dalam menyimpan informasi yang di perolehnya baik dari guru ataupun sumber belajar lainnya.
Faktor lain sebagai penyebab ketidakberhasilan pendidikan agama Islam menurut analisis Thowaf adalah pendekatan yang di gunakan dalam pembelajaran pendidikan agama Islam masih cenderung bersifat normatif.
Pendidikan agama Islam seringkali menyajikan norma-norma tanpa ilustrasi konteks budaya.
Sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Selain itu pula para pendidik, khususnya dalam pendidikan agama Islam kurang berupaya dalam menggali berbagai metode pengajaran yang menarik, inovatif dan efektif, sehingga pembelajaran menjadi cenderung monoton dan membosankan (Luthfi, 2012).
Bukan rahasia lagi, kalau benih-benih paham radikalisme memang menjamur dan tumbuh subur di perguruan tinggi.
Berbagai survey tentang intoleransi dan radikalisme di Indonesia menyimpulkan, bahwa terdapat peningkatan prosentase.
Ironisnya sikap intoleran dan radikalisme ini justru di temukan di lembaga-lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi yang merupakan tempat formal belajar nilai-nilai toleransi.
Salah satu hasil survey Pusat Pengkajian Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukkan, bahwa sikap intoleran dan radikalisme di lingkungan sekolah dan universitas sangat tinggi.
51,1 persen responden siswa/mahasiswa intoleran terhadap aliran Islam minoritas. Seperti Ahmadiyah dan Syi’ah.
Sedangkan 34,3 persen intoleran terhadap kelompok agama selain Islam, 48,95 persen.
Responden mengatakan bahwa pendidikan agama mempengaruhi mereka untuk tidak bergaul dengan siswa beragama lain (Idhom & Muthahhari, 2017).
Survey lain juga di lakukan oleh LPPM Universitas Nahdhatul Ulama terhadap perguruan tinggi negeri di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Hasilnya terjadi intoleransi dan gerakan anti keragaman oleh gerakan tarbiyah yang berkiblat ke Ikhwanul Muslimin, Hizbu Tahrir dan Salafi (NU Online, 2019).
Idealnya Pendidikan Agama memiliki Landasan Minimal Memperhatikan Tiga Aspek:
(1) jenis materi di sesuaikan dengan standar kompetensi materi Pendidikan Agama Islam yang telah di tentukan oleh Dirjen DIKTI berdasarkan Surat Keputusan Dirjen DIKTI No 43/DIKTI/Kep/2006.
(2) strategi penyampaian pembelajaran Pendidikan Agama Islam di lakukan dengan cara memanfaatkan berbagai media pembelajaran, mengatur interaksi mahasiswa dan media pembelajaran, serta memperhatikan bentuk pembelajaran.
(3) strategi pengelolaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam di lakukan dengan cara mengatur penggunaan strategi pembelajaran terhadap suatu jenis materi pembelajaran yang memerlukan metode, media, dan sistem evaluasi/penilaian yang berbeda.
Membuat evaluasi belajar yang di lakukan pada tiga aspek, yaitu aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotorik.
Mengelola motivasi serta kontrol belajar mahasiswa baik di dalam maupun di luar kelas di maksudkan agar dapat memacu keberhasilan belajar mahasiswa (Riris, 2012).
Fenomena ini kemudian memunculkan pertanyaan, bagaimana implementasi pembelajaran PAI di Universitas atau Perguruan Tinggi Umum tersampaikan.
Sehingga mahasiswanya dapat terpapar radikalisme bahkan sebagian ada yang di sinyalir sebagai sarang pengkaderan radikalisme seperti UB malang misalnya (Sasmito, 2019).
Padahal kalau melihat dari strategi dan model pengembangan pembelajaran pendidikan agama Islam yang di lakukan sudah baik dan sesuai dengan perencanaan yang ada.
Jawaban yang mungkin menjawab adalah faktor tiga di atas dengan menambahkan poin profesionalitas Dosen PAI itu sendiri.
Misalnya saja bisa di lihat dari latar belakang pendidikan agamanya, perhatian kampusnya dan jumlah jam dalam memenuhi standar yang di harapkan dalam capaiannya.
Berdasarkan fenomena di atas, penulis memandang penting untuk memberikan masukan tentang Implementasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum.
Pokok permasalahan yang ingin penulis sampaikan adalah
1) Bagaimana implementasi pembelajaran PAI di Perguruan Tinggi Umum.
2) Bagaimana supaya Fenomena faham radikalisme tidak mampu merasuk dan merusak mental generasi bangsa melalui Perguruan Tinggi Umum bahkan perguruan tinggi agama sekalipun.
Tugas berat ini tentu bukan semata tanggung jawab dosen PAI saja.
Melainkan kausalitas seluruh elemen PTU/PTA itu sendiri.
Selamat belajar dan mengajar,
semoga semua tujuan baik dapat segera terlaksana oleh kita semua. Aamiiin….(*)