Scroll untuk baca
baturajaStorySumsel

Pasar Atas Itu Dulunya Terminal Angkutan Umum

×

Pasar Atas Itu Dulunya Terminal Angkutan Umum

Sebarkan artikel ini
Kawasan Pasar Atas selalu ramai disesaki pengunjung. Di bawah tahun 1990an, kawasan itu sangat luas karena berupa terminal kendaraan umum sebelum dipindahkan ke Pasar Baru dan terakhir di Kelurahan Batukuning. ( Foto: Istimewa / oku satu )

BATURAJA, OKUSATU.ID Aktifitas Pasar Atas Kelurahan Baturaja Lama, akhir pekan kemarin masih cukup ramai. Pagi itu pukul 10.00 Wib, lalulintas kendaraan jalan raya di dekat pasar masih ramai lancar.

 

Biasanya kepadatan lalulintas terjadi satu jam di kawasan itu. Antara pukul 06.30 wib hingga 07.30 wib. Setiap pagi. Kecuali hari libur.

 

Waktu yang cukup sibuk. Karena pekerja berangkat ketempat kerjanya, para pelajar berangkat ke sekolah.

 

Hanya penarik bentor masih meramaikan jalanan mengisi kantung parkir. Mereka menanti pelanggannya keluar pasar sejak subuh.

 

Sangat tertib. Karena para penarik bentor menentukan jadwal angkut. Yang baru datang, wajib ngantri di belakang. Tidak boleh menerobos antrean. Nekat menerobos, harus siap ribut.

 

Di jalan Warsito, ruas jalan di dalam pasar atas itu masih seperti biasa. Kanan kiri jalan disesaki pedagang kaki lima (PKL).

 

Sejak pagi hingga petang, ruas jalan Warsito tertutup terpal. Pedagang yang memasangnya untuk menghalau terik matahari.

 

Para pedagang itu, kebanyakan punya lapak di lantai dua pasar atas, tapi memilih turun ke jalan. Alasannya, pembeli di lantai atas sepi.

 

Padahal pembeli akan mencari barang dagangan, jika semua pedagang mengisi lapak yang disiapkan.

 

Kawasan pasar atas di tahun 1970 an, adalah terminal angkutan penumpang. Jalan Warsito itulah satu-satunya aset yang masih bisa dijumpai, sebelum terminal bermetamorfosis menjadi pasar.

 

“Bangunan lain kalau tidak salah tidak ada lagi. Cuma jalan Warsito itulah sisanya, ” Ungkap Saman, penjahit pakaian di lantai dua pasar atas inpres baru.

 

Pagi itu dirinya masih menyelesaikan pesanan pelanggannya. Mengubah ukuran pakaian sesuai keinginan pelanggan.

 

Terminal angkutan penumpang, sudah ada sebelum tahun 70an. Sebab, saat dirinya masih pelajar SD (SR ketika itu), terminal sudah ada di kawasan itu.

 

“Mulai kapannya terminal ada, tidak tahu persis. Tapi tahun 1977 saya jualan es di terminal, ” kenangnya ayah 57 tahun ini sembari menjahit pakaian.

 

Lokasi persis tempat pemberhentian penumpang berada di gedung pasar BJ yang berdampingan dengan jalan Akmal.

 

“Di lahan gedung itu dulu lahan luas. Kendaraan menaik turunkan penumpang di sana, ” tuturnya sembari menunjuk gedung besar di seberangnya yang sekarang menjadi kantor unit pasar atas dan pasar BJ.

 

Untuk masuk ke terminal, kendaraan dari arah jembatan Ogan I, melalui jalan Warsito langsung masuk ke pelataran terminal.

 

“Jalan Warsito jalan lama. Jalan Akmal belum ada ketika pasar masih berupa terminal, ” katanya.

 

Di halaman terminal hanya ada kantor pelayanan angkutan serta ruang tunggu. Di seberangnya ada pasar inpres lama yang berjejer dengan kantor Pegadaian.

 

“Di ruang tunggu penumpang itu tempat kami nonton televisi hitam putih. Gambarnya banyak semut, ” kenangnya.

 

Di tempat itu pula, warga Desa Pusar ini mencari rezeki. Saman kecil menentang termos berisi es balon. Yang dijual seharga Rp 5.

 

“Jual es punya orang. Uangnya bisa buat jajan, ” ungkapnya.

 

Banyak angkutan penumpang antar provinsi yang masuk terminal itu. Yang paling terkenal bus dengan nama Sibualbuali.

 

“Itu bus angkutan Jakarta – Medan. Busnya kecil ukuran 3/4, tidak seperti sekarang busnya besar-besar, ” imbuhnya.

 

Kedatangan bus sangat dinantikan pedagang makanan maupun es di masa itu. Pendatang turun dari bus, rezeki datang.

 

“Kalau bus belum datang, kami biasanya main di kantor layanan terminal sambil nonton TV. Sudah pakai listrik, antenanya tinggi, ” tuturnya.

 

Kisaran tahun 80an, terminal pindah ke kawasan Pasar Baru Kelurahan Kemalaraja. Dia pun sempat melihat proses pembukaan lahan.

 

“Kawasan pasar baru termasuk terminal, itu kebun warga. Ada juga makam. Karena akan dibangun, makam dipindahkan, ” katanya.

 

Para pedagang juga sempat pindah ke lorong Ogan. Mereka mengisi lapak penampungan mulai dari pasar tugu hingga ke langgar Ogan di tepian sungai Ogan.

 

“Pindah karena terminal dibongkar dan dijadikan pasar seperti sekarang, ” ungkapnya.

Inem, ibu rumah tangga (IRT) warga Kelurahan Talang Jawa untuk pertamakalinya menjejakkan kaki di Kota Baturaja di terminal pasar atas tahun 1976.

 

Dirinya berangkat dari tempat tinggal orangtuanya di Belitang BK 6 OKU Timur. Ketika itu OKU timur masih bagian Kabupaten OKU.

 

“Pengen merantau. Karena bapak di Lampung wafat, saya pergi cari mamak di Belitang, ” ceritanya.

 

Di Belitang, dirinya tidak betah. Keinginannya untuk melihat kota lain sangat besar. Tujuannya Baturaja, karena di Kota ini ada Uwak dari sebelah ibunya.

 

“Di Baturaja tinggal di rumah Uwak di Desa Talang Jawa, ” ujar IRT kelahiran 1952 silam.

 

Terminal itu, kata dia, cukup ramai di masanya. Kendaraan angkutan penumpang dari berbagai daerah masuk.

 

“Lewatnya jembatan Ogan I. Belum ada jalan lintas, ” ungkapnya.

 

Meski bekas terminal sudah dibangun gedung pasar, namun dirinya masih lokasi terminal, tempat pertamakali dirinya masuk Baturaja.*

Dapatkan berita terupdate OKU SATU di Google News