Ahmad Yasin,S.H.I.,M.Pd.
Pengurus NU, Dosen pendidikan agama Islam UNBARA dan penyuluh Agama islam OKU
Seiring kompleksitas perkembangan politik Indonesia, perjalanan politik NU juga menanjak kencang.
NU mulai bersentuhan dengan politik kenegaraan (kebangsaan). Terutama masa-masa sesudah kemerdekaan.
Persentuhan ini merupakan pengaruh gerakan nasionalisme di beberapa negara yang bergerak menuju kemerdekaan.
Kontribusi politik kenegaraan NU yang paling jelas adalah dukungan Wahid Hasyim, wakil NU dalam PPKI, untuk tidak mencantumkan Piagam Jakarta dengan beberapa isinya dalam Dasar Negara kita.
Memang benar jika Esensi NU didirikan bukan untuk tujuan politik kekuasaan, tetapi politik (keagamaan) yang senantiasa berbasis kerakyatan.
Maka, bagi umat Islam Indonesia yang menginginkan pelaksanaan praktik dan pemikiran keagamaannya dekat dengan tradisi lokalnya, kehadiran NU dinilai memberi perlindungan.
Jika ini bisa disebut tindakan politik kerakyatan dalam pengertian luas, maka politik jenis inilah yang patut disebut tingkatan politik tertinggi NU.
Dalam politik kekuasaan, keterlibatan pertama NU ditandai dengan dukungannya terhadap pendirian Masyumi.
Ketika menjadi organisasi penyangga Masyumi. Tokoh-tokoh NU terlibat perebutan kekuasaan. Baik untuk jabatan dalam tubuh partai maupun di luar partai (eksekutif).
Politik kekuasaan masa ini diakhiri dengan perpecahan, konflik politik yang terbilang kurang mengenakkan.
Keterlibatan paling pekat dengan politik kekuasaan, yaitu saat NU berdiri sebagai partai politik (1952) pasca pecah atau cerai dari Masyumi.
Sebagai organisasi besar yang telah lama berkiprah di kancah perpolitikan tanah air, tentu saja tidak ada salahnya jika NU memiliki wadah aspirasi politik bagi warganya.
Hal ini untuk menghindari perpecahan di dalam tubuh NU sendiri, walaupun keterbukaan yang ada di dalam tubuh NU dalam menyalurkan aspirasi politik warganya
Kungtum khoiro ummatin ukhrijat linnaasi tak muruuna bil ma’ruufi watan hauna a’nil mungkar
Artinya, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar,” (Surat Ali Imran ayat 110).
Politik dapat memuluskan jalan menuju terlaksananya misi amar makruf nahi mungkar dan memperkuat perannya sebagai benteng akidah aswaja, pengawal moral dan penyangga NKRI.
Tujuan yang suci itu harus dicapai dengan jalan yang suci pula. Dengan demikian, aktivitas politik umat Islam harus dijalankan dengan memperhatikan akhlak dalam Islam.
Sedangkan Islam berwatak tawassuth-i’tidāl, tasāmuḥ, tawāzun atau bisa disingkat wasathiyah (moderatisme).
Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Oleh karena itu, praktik politik harus berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama.
Yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat.
Berpolitik yang moderat harus dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, praktik berpolitik bukan sekadar meraih kekuasaan strategis dengan menghalalkan segala cara.
Praktik politik yang moderat merupakan aktivitas politik yang mengedepankan moralitas agama, integritas, dan juga konstitusional dengan semangat musyawarah dalam pemecahan masalah dan semangat persaudaraan.
Berpolitik dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecahbelah persatuan.
Perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga negara harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadhu’ dan saling menghargai satu sama lain untuk menjaga persatuan dan kesatuan.
Selama ini sudah berjalan baik Politik NU adalah politik kebangsaan, bukan politik kepentingan sesaat. Ia bukan politik parsialistik, melainkan politik paradigmatikuniversalistik.
Sehingga tidak mencederai cita-cita luhur para pendiri NU dan dapat ikut serta membangun masyarakat berbasis nilai-nilai keislaman yang mempunyai jiwa nasionalisme serta kepedulian sosial yang tinggi.
Dalam rangka mewujudkan semuanya, kekuasaan bukan jalan pintas yang harus ditempuh. Ia semata salah satu media.
Akan tetapi, pendekatan kultural dan sikap merakyatnya organisasi NU bisa menjadi alternatif sekaligus menumbuhkan kewibawaan tersendiri bagi NU, meskipun akhir-akhir ini NU agak terjebak dalam situasi sangat dilematis dan krusial.
Di satu sisi NU tidak ingin terlibat praktis dalam perpolitikan tapi di pihak lain “syahwat politik” para tokoh NU sangat sulit dibendung.
Sepertinya, karena jiwa politik dalam NU sudah mendarah daging, tampak NU tidak bisa meninggalkan kancah perpolitikan yang menawarkan kemanisan semu itu walau sejenak.
Inilah yang oleh Asep Saeful Muhtadi dilanggamkan dengan lugas bahwa NU mau tidak mau memang harus berpolitik untuk menyalurkan ghirah atau energy politik sebagian umat, elit, maupun kelembagaannya.
Sebenarnya, jauh sebelum NU didirikan, titik-titik embrio kekuatan politik Islam tradisional dalam tubuh NU telah diproduksi oleh KH. Wahab Hasbullah.
Banyak aktifitas gerakan yang dilakukan KH Wahab Hasbullah dalam rangka mewujudkan kekuatan politik.
Hasilnya adalah tumbuhnya lembaga-lembaga dengan sebutan Nahdlatut Tujjar, Nahdlatul Wathan, Subbanul Wathan, dan Tashwirul Afkar.
Ketiga lembaga ini kelak melahirkan banyak gerakan kebajikan dengan keunikannya masing-masing.
Kemudian pada tahun 1945, NU mengeluarkan Resolusi Jihad yang membakar semangat perjuangan para pembela Republik, khususnya di wilayah Jawa Timur.
Melalui wakilnya di PPKI, KH. A. Wahid Hasyim, NU tegas menolak “Piagam Jakarta” demi persatuan bangsa.
Demikian sejumlah rambu-rambu Islam dalam moderasi berpolitik agar kita tidak terjebak dalam politik sektarian yang memicu keretakan sosial.
Semoga ini dapat menjadi bekal itu untuk meningkatkan persatuan dalam berbangsa dan menebalkan nilai ketakwaan kepada Allah swt dengan sebenar-benarnya. Amin.*