Tongkat Pangeran Diponegoro
Putra dari Sultan Hamengkubuwono III yang di kenal dengan nama Pangeran Diponegoro tokoh sejarah yang terkenal berkat perjuangannya melawan Belanda.
Pangeran Diponegoro telah di nobatkan sebagai pahlawan nasional. Ia berperan besar dalam perlawanan terhadap penjajahan Belanda, terutama pada Perang Jawa pada 1825–1830.
Dalam perang tersebut, Belanda menyerang Pangeran Diponegoro yang memimpin pasukan Hindia Belanda dan membakar kediamannya.
Pada 1830, sang pangeran di tangkap dan di asingkan oleh Belanda. Segala barang milik Pangeran Diponegoro, termasuk peralatan perangnya di bawa ke Belanda.
Nah, peninggalan Diponegoro yang pernah di simpan Belanda adalah keris yang bernama Kanjeng Kiai Naga Siluman dan sebuah tongkat komando bernama Kanjeng Kiai Cokro.
Pada 2015, pemerintahan Belanda secara resmi mengembalikan tongkat Cokro kepada pemerintah Indonesia.
Artefak sejarah tersebut setelah 183 tahun tersimpan di Belanda, oleh keluarga Beud yang pernah menerima tongkat tersebut sebagai hadiah.
2015 Tongkat Pangeran Dipenogoro Kembali ke Tanah Air
Anies Baswedan saat menerima tongkat pangeran Diponegoro tahun 2015
Penyerahan tongkat tersebut di lakukan di Galeri Nasional pada pembukaan pameran Aku Diponegoro (5/2/2015). Penerima Yang tongkat adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) saat itu, Anies Baswedan.
BACA JUGA ; Napak Tilas Jejak Pengasingan Sukarno-Hatta di Pulau Bangka
Dalam sebuah video yang di unggah di akun Youtube resmi Anies Baswedan (28/7/2023), mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut menceritakan pengalamannya menerima tongkat Cokro.
Anies menyampaikan bahwa penyerahan tongkat tersebut adalah rahasia karena banyaknya kolektor yang memburu tongkat tersebut untuk di simpan secara pribadi.
Saat sampai ke Indonesia, Presiden Joko Widodo sedang berada di Filipina sehingga perannya di gantikan oleh Mendikbud.
“Saya tidak membayangkan tongkatnya sepanjang itu. Di foto tidak terlihat dimensinya,” kata Anies dalam video.
Gambaran tongkat yang pertama kali dilihat Anies di dalam foto tidak terlihat panjang. Namun, saat melihatnya secara langsung untuk pertama kali, Anies terkejut dengan ukurannya. Tongkat Cokro berukuran sekitar 150 cm, terbuat dari kayu yang sudah berumur lebih dari 200 tahun.
Di ujung tongkat, terdapat lempengan logam setengah melingkar yang menjadi asal usul nama Cokro atau Cakra. Anies juga menyampaikan kebanggaan dan rasa syukur atas kembalinya benda bersejarah tersebut ke tanah air.
Anies mereka ulang apa yang ia sampaikan saat penerimaan, “Atas nama pemerintah dan bangsa Indonesia, kami terima tongkat ini dan kami akan rawat, kami jadikan sebagai sebuah artefak bersejarah yang bisa di lihat oleh semua anak bangsa lintas waktu.”
Sejarah Tongkat Kiai Cokro
Tongkat pusaka Kanjeng Kiai Tjokro konon di buat untuk seorang Sultan Demak pada abad ke-16.
Tongkat pusaka ziarah ini diberikan kepada Pangeran Diponegoro pada 1815 oleh seorang warga biasa asal Jawa. Kemudian di gunakan semasa menjalani ziarah di daerah Jawa bagian selatan.
Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro menjadi benda pusaka sangat penting bagi Diponegoro karena terdapat simbol cakra di ujung atas tongkat.
Menurut Peter Carey, sejarawan spesialis Pangeran Diponegoro, tongkat tersebut di peroleh Pangeran dari warga pada sekitar tahun 1815.
Tongkat itu lantas di gunakan semasa menjalani ziarah di daerah Jawa selatan, terutama di Yogyakarta.
Itu terjadi sebelum Diponegoro mengobarkan perang terhadap Hindia Belanda pada 1825-1830.
JC Baud menerima Tongkat Pangeran Diponegoro, yang juga dis ebut tongkat Kanjeng Kiai Tjokro, dari Pangeran Adipati Notoprojo.
Notoprojo adalah cucu komandan perempuan pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang.
Notoprojo di kenal sebagai sekutu politik bagi Hindia Belanda.
Ia pula yang membujuk salah satu panglima pasukan Diponegoro, Ali Basah Sentot Prawirodirjo, untuk menyerahkan diri kepada pasukan Hindia Belanda pada 16 Oktober 1829.
Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro di persembahkan Notoprojo kepada JC Baud saat inspeksi pertama di Jawa Tengah pada musim kemarau tahun 1834.
Kemungkinan Notoprojo berusaha mengambil hati penguasa kolonial Hindia Belanda.
Sejak 1834, Baud dan keturunannya di Belanda merawat tongkat ziarah Diponegoro dan di pulangkan kembali ke Tanah Air. (*)