Sejalan dengan ini, Imam al-Ghazali (505 H) dalam kitab al-Tibr al-Masbuk fi Nashiah al-Muluk memberikan rumusan bahwa untuk mewujudkan kepemimpinan yang amanah dan adil, maka seorang pemimpin harus memahami hakikat dari kedudukan dan kekuasaannya (qadr al-wilayah).
Dalam uraiannya, Imam al-Ghazali menandaskan bahwa kekuasaan ataupun jabatan di samping mempunyai nilai ibadah yang besar.
Ia juga mempunyai potensi untuk menggelincirkan seseorang dalam kenistaan. Ibarat dua sisi sebilah belati, jika tidak hati-hati menggunakannya.
Ia akan melukai pemiliknya sendiri. Sedangkan dari sisi positifnya, kekuasaan jika dilaksanakan dengan tanggung jawab, maka ia dapat menjadi perantara untuk mendapatkan ridha dari Allah SWT,
hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits riwayat Imam al-Tirmidzi (209-279 H):
Artinya: “Dari Abi Sa’id ra Rasulullah saw berkata: “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah di hari kiamat dan paling dekat tempat duduknya denganNya adalah imam yang adil, dan manusia yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh tempat duduknya denganNya adalah imam yang zalim.” (H.R. al-Tirmidzi)