Kenapa Kita Harus Memuliakan Guru
Persembahan Ust.Yasin Pengurus IPARI KEMENAG OKU
Sekitar pukul 23.03 malam rabu tanggal 09 September 2025, di obrolan Kosong dengan Kepala Desa Panggal – Panggal setelah Pulang dari mengaji bersama jamaah binaan di masjid AT-TAQWA Desa Panggal-Panggal, Ustadz Yasin disodori pertanyaan oleh kepala desa, Firli Bastumi.SE.
Pertanyaan dilatarbelakangi atas sedikit kejanggalan dari jawaban peserta saat diskusi yang menunjukan ekspresi cuek dalam menerima penyuluhan Agama yang disampaikkan Ust.Yasin.
Sementara Menurut kepala desa yang juga Alumnus UNBARA ini, merasa apa yang disampaikan semalam adalah ilmu yang penting dan memang sebagian dari masyarakat belum mengenalnya.
Sehingga beliau menanyakan bagaimana pak Yasin menanggapi pertanyaan peserta semalem (yang kurang sesuai ekspresi ketertarikannya).
Sambil tertawa ringan ust. Yasin menJawab. Belajar memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kesuksesan para pelajar. Mereka yang benar-benar bersungguh-sungguh untuk terus belajar ketika berada di masa pendidikan, memiliki banyak kemungkinan untuk bisa paham dan menguasai materi-materi yang mereka pelajari.
`Banyak kisah-kisah hebat para ulama tentang kegigihannya dalam belajar saat duduk di bangku pendidikan. Dengan kesungguhan dan ketekunannya dalam belajar, akhirnya bisa menjadikan dirinya ulama hebat yang sukses dalam dunia keilmuan.
Bahkan tidak sedikit juga yang melahirkan banyak karya-karya yang bisa dinikmati dan dibaca hingga saat ini. Namun demikian, sekadar mencukupkan “belajar” pada dasarnya tidak akan cukup jika tidak disertai dengan adab memuliakan guru-gurunya.
Seorang murid sudah seharusnya tidak tertipu dengan kegigihan dan ketekunannya dalam belajar, hingga lupa untuk memuliakan gurunya. Karena itu, para ulama sejak zaman dahulu selalu berpesan perihal pentingnya memuliakan guru.
Salah satu pesan itu sebagaimana dicatat oleh Imam Burhanuddin az-Zarnuji (wafat 591 H), dalam salah satu karyanya ia mengatakan bahwa seorang pelajar tidak pernah mendapatkan ilmu jika tidak memuliakan ilmu, orang yang berilmu, dan guru-gurunya,
اِعْلَمْ بِأَنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ لاَ يَنَالُ الْعِلْمَ وَلاَ يَنْتَفِعُ بِهِ اِلَّا بِتَعْظِيْمِ الْعِلْمِ وَأَهْلِهِ وَتَعْظِيْمِ الْأُسْتَاذِ وَتَوْقِيْرِهِ. قِيْلَ مَا وَصَلَ مَنْ وَصَلَ اِلَّا بِالْحُرْمَةِ، وَمَا سَقَطَ مَنْ سَقَطَ اِلاَّ بِتَرْكِ الْحُرْمَةِ
Artinya, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya seorang pelajar tidak akan bisa mendapatkan ilmu dan manfaat ilmu kecuali dengan menghormati ilmu dan orang yang berilmu, memuliakan guru dan menghormatinya. Dikatakan, tidak sukses orang yang telah sukses kecuali dengan hormat, dan tidak gagal orang yang gagal kecuali disebabkan tidak hormat.” (Imam az-Zarnuji, Ta’limul Muta’allim fi Thariqit Ta’allum, [Daru Ibn Katsir: 2014], halaman 55).
Memuliakan guru merupakan kewajiban setiap pelajar/santri (orang yang belajar). Siapa saja yang pernah belajar kepada orang lain tentang ilmu pengetahuan, maka wajib baginya untuk memuliakan guru tersebut. Memuliakan guru merupakan etika dan teladan para ulama terdahulu.
Mereka memberikan contoh yang sangat luar biasa perihal bagaimana seorang murid memuliakan gurunya. Merujuk pada kitab Ta’limul Muta’allim, Imam Burhanuddin az-Zarnuji pernah bercerita bahwa di negara Bukhara terdapat seorang ulama besar yang duduk di suatu majlis ilmu.
Di tengah-tengah pengajian itu, dia terkadang berdiri sambil menundukkan kepalanya. Tentu, perbuatan itu membuat para jamaah yang lain heran dan penuh tanda tanya.
Namun tanpa disangka, ia menjawab: “Sungguh anak guruku sedang bermain bersama anak-anak sebayanya di halaman, dan terkadang anak guruku mendekat ke pintu masjid. Oleh karena itu, setiap kali aku melihatnya, aku berdiri untuk memuliakan guruku.” (Imam az-Zarnuji, 56).
Memuliakan guru merupakan bagian dari memuliakan ilmu itu sendiri, dan orang yang tidak memuliakan gurunya, sama halnya dia tidak memuliakan ilmu yang sedang ia tekuni, dan siapa saja yang tidak memuliakan ilmunya, maka sampai kapan pun ia tidak akan mendapatkan ilmu.
Hal ini sebagaimana nasihat yang disampaikan oleh Syekh Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi, dalam salah satu kitabnya ia mengatakan:
كُنْ مُوَقِّرًا لِمُعَلِّمِكَ مُعَظِّمًا لَهُ، فَاِنَّ تَعْظِيْمَهُ مِنْ تَعْظِيْمِ الْعِلْمِ. وَلاَ يَنَالُ الْعِلْمَ اِلاَّ بِتَعْظِيْمِهِ وَتَعْظِيْمِ أَهْلِهِ، وَكُنْ مُعْتَقِدًا أَيْضَا أَهْلِيَتَهُ وَرُجْحَانَهُ عَلىَ مَنْ كَانَ فِي طَبَقَتِهِ
Artinya, “Jadilah kamu orang yang memuliakan serta mengagungkan pada gurumu. Karena sungguh, memuliakannya merupakan bagian dari memuliakan ilmu. Tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan memuliakan ilmu dan memuliakan orang yang berilmu. Dan, jadilah kamu orang yang yakin pada kapasitas dan keunggulannya pada orang yang ada pada masanya.” (Syekh Syatha, Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tt], halaman 170).
Beberapa pesan dan nasihat para ulama di atas, merupakan cara yang harus ditiru oleh semua orang ketika hendak mendapatkan ilmu dan keberkahan yang ada di dalamnya.
Dengan memuliakan gurunya, maka ia tidak hanya akan mendapatkan ilmu saja, namun juga akan mendapatkan keberkahan dan kemanfaatan, begitu juga sebaliknya, orang yang tidak memuliakan gurunya maka akan sulit untuk mendapatkan ilmu dan keberkahannya. Itulah pentingnya seorang pelajar memuliakan gurunya.
Memuliakan guru merupakan salah satu jalan kesuksesan setiap pelajar. Karena itu, tidak heran jika Sayyidina Ali karramalahu wajhah, mengatakan bahwa dirinya adalah budak bagi orang-orang yang pernah mengajarkan ilmu kepadanya, sekalipun hanya satu huruf saja,
قَالَ عَلِيٌّ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ أَنَا عَبْدُ مَنْ عَلَّمَنِي حَرْفًا إنْ شَاءَ بَاعَ وَإِنْ شَاءَ اسْتَرَقَّ
Artinya, “Sayyidina Ali kw berkata: Saya adalah hamba sahaya bagi orang yang telah mengajariku satu huruf. Terserah padanya jika ingin menjual, dan (juga) terserah jika ingin tetap menjadi hamba sahaya.” (Abu Sa’id al-Khadimi, Bariqah Mahmudiyah, [Mathba’ah al-Halabi: 1348], juz V, halaman 185).
Itulah beberapa pesan dan nasihat para ulama kepada semua pelajar perihal pentingnya memuliakan seorang guru.
Sebenarnya adab seorang murid kepada guru itu minimal ada sepuluh
Pertama, mendahului beruluk salam.
Seorang murid hendaknya mendahului beruluk salam kepada guru. Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim bahwa yang kecil memberi salam kepada yang besar.
Kedua, tidak banyak berbicara di depan guru.
Banyak berbicara bisa berarti merasa lebih tahu dari pada orang-orang di sekitarnya. Apa bila hal ini dilakukan di depan guru, maka bisa menimbulkan kesan seolah-seolah murid lebih tahu dari pada gurunya. Hal ini tidak baik dilakukan kecuali atas perintah guru.
Ketiga, berdiri ketika guru berdiri.
Bila guru berdiri, murid sebaiknya lekas berdiri juga. Hal ini tidak hanya penting kalau-kalau guru memerlukan bantuan sewaktu-waktu, misalnya uluran tangan agar segera bisa tegak berdiri, tetapi juga merupakan sopan santun yang terpuji. Demikian pula jika guru duduk sebaiknya murid juga duduk.
Keempat, tidak mengatakan kepada guru, “Pendapat fulan berbeda dengan pendapat Anda.”
Ketika guru memberikan suatu penjelasan yang berbeda dengan apa yang pernah dijelaskan oleh orang lain, sebaiknya murid tidak langsung menyangkal penjelasan guru.
Sebaiknya murid meminta izin terlebih dahulu untuk menyampaikan pendapat orang lain yang berbeda. Jika guru berkenan, murid tentu boleh menyampaikan hal itu.
Kelima, tidak bertanya-tanya kepada teman duduknya sewaktu guru di dalam majelis.
Dalam majlis ta’lim atau kegiatan belajar mengajar di kelas, murid hendaknya bertanya kepada guru ketika ada hal yang belum jelas. Hal ini tentu lebih baik daripada bertanya kepada teman di sebelahnya.
Lebih memilih bertanya kepada teman dan bukannya langsung kepada guru bisa membuat perasaan guru kurang nyaman.
Keenam, tidak mengumbar senyum ketika berbicara kepada guru.
Guru tidak sama dengan teman, dan oleh karenanya tidak bisa disetarakan dengan teman. Seorang murid harus memosisikan guru lebih tinggi dari teman sendiri sehingga ketika berbicara dengan guru tidak boleh sambil tertawa atau bersenyum yang berlebihan.
Ketujuh, tidak menunjukkan secara terang-terangan karena perbedaan pendapat dengan guru.
Bisa saja seorang murid memiliki pendapat yang berbeda dengan guru. Jika ini memang terjadi, murid tidak perlu mengungkapkannya secara terbuka sehingga diketahui orang banyak.
Lebih baik murid meminta komentar sang guru tentang pendapatnya yang berbeda. Cara ini lebih sopan dari pada menunjukkan sikap kontra dengan guru di depan teman-teman.
Kedelapan, tidak menarik pakaian guru ketika berdiri.
Ketika guru hendak berdiri dari posisi duduk mungkin ia membutuhkan bantuan karena kondisinya yang sudah agak lemah. Dalam keadaan seperti ini, murid jangan sekali-kali menarik baju guru dalam rangka memberikan bantuan tenaga. Ia bisa berjongkok untuk menawarkan pundaknya sebagai tumpuan untuk berdiri; atau sesuai arahan guru.
Kesembilan, tidak menanyakan suatu masalah di tengah perjalanan hingga guru sampai di rumah.
Jika ada suatu hal yang ingin ditanyakan kepada guru, terlebih jika itu menyangkut pribadi guru, tanyakan masalah itu ketika telah sampai di rumah. Tentu saja ini berlaku terutama kalau perjalanan dengan menaiki kendaraan umum.
Kesepuluh, tidak banyak mengajukan pertanyaan kepada guru ketika guru sedang lelah.
Dalam keadaan guru sedang lelah, seorang murid hendaknya tidak mengajukan banyak pertanyaan yang membutuhkan jawaban pelik, misalnya. Dalam hal ini dikhawatirkan guru kurang berkenan menjawabnya sebab memang sedang lelah sehingga membutuhkan istirahat untuk memulihkan stamina.
Semoga bermanfaat…