Jika makmum menyamai posisi imam dengan tumitnya, maka makruh baginya, dan ia tidak memperoleh apa pun keutamaan berjamaah. (Lihat: Ibnu Hajar al-Haitami, Syarah Minhajul Qawim, halaman 68).
Makruh jika posisi makmum sendiri berdiri di sebelah kiri imam atau terlalu jauh di belakang imam. Seharusnya, ia berdiri di sebelah kanan imam. Dikecualikan si makmum tersebut tidak memungkinkan berdiri di sebelah kanannya.
إذا لم يقف عن يمينه أو تأخر كثيرا فإنه يكره له ذلك ويفوته فضل الجماعة
Artinya, “Jika makmum tidak berdiri di sebelah kanan imam atau terlalu jauh dari imam, maka hal itu makruh baginya, sehingga dapat menghilangkan keutamaan berjamaah,” (Lihat: al-Haitami: 68).
Makruh jika posisi makmum kedua berdiri di sebelah kanan makmum pertama yang sudah lebih dahulu berdiri di sebelah kanan imam. Seharusnya, makmum kedua berdiri di sebelah kiri imam.
فإن جاء آخر فعن يساره ويكره وقوفه عن يمين المأموم ويفوت فضل الجماعة
Artinya, “Jika datang makmum lain, maka berdirilah di sebelah kiri imam, dan ia makruh berdiri di sebelah makmum (pertama), dan bisa menghilangkan keutamaan berjamaah.”
Jika makmum pertama berdiri di sebelah kanan imam, kemudian datang makmum kedua berdiri di sebelah kiri, maka imam boleh maju atau lebih baik kedua makmum tadi mundur. Jika makmum pertama mundur sebelum makmum kedua takbiratul ihram, atau tetap berdiri tidak mundur, atau mundur tetapi bukan pada saat berdiri, maka itu makruh.
أما إذا تأخر من على اليمين قبل إحرام الثاني أو لم يتأخر أو تأخر في غير القيام فيكره ويفوت به فضل الجماعة
Artinya, “Sementara jika makmum yang ada di sebelah kanan imam mundur sebelum takbiratul ihram makmum yang kedua, atau tidak mundur, atau mundur tetapi selain saat berdiri, maka hal itu makruh dan dapat menghilangkan keutamaan berjamaah.”
Jika ada dua makmum laki-laki, maka keduanya diposisikan di belakang imam. Kemudian, jika ada satu makmum perempuan atau beberapa perempuan, dan imamnya laki-laki, maka diposisikan belakangnya, bukan di kanan atau di kirinya. Jika ada makmum laki-laki dewasa dan anak-anak, maka makmum anak-anak diposisikan di belakang makmum laki-laki, kecuali anak-anak mendahului datang. Jika ada lagi makmum anak-anak perempuan, maka mereka diposisikan di belakang makmum anak laki-laki. Jika ada makmum perempuan, maka diposisikan di belakang posisi makmum anak perempuan. Jika menyalahi urutan posisi-posisi tersebut, maka makruh hukumnya.
ومتى خولف الترتيب المذكور كره وكذا كل مندوب يتعلق بالموقف فإنه يكره مخالفته وتفوت به فضيلة الجماعة
Artinya, “Jika menyalahi urutan posisi di atas, maka dimakruhkan. Juga dimakruhkan menyalahi setiap sunnah yang berhubungan dengan posisi. Semua itu makruh dan dapat menghilangkan keutamaan berjamaah.”
Posisi makmum juga makruh berdiri sendirian terpisah dari barisan depan selama masih ada kekosongan di depannya. Jika tidak ada kekosongan pada barisan depan, maka lakukanlah takbiratul ihram bersama imam di barisan baru, kemudian tariklah salah seorang makmum supaya berdiri bersamanya dan makmum yang ditarik juga disunahkan untuk membantunya dengan tujuan tidak membiarkan makmum di belakang kehilangan keutamaan berjamaah. Namun, diharamkan menarik makmum di depan sebelum dirinya takbiratul ihram.
ويكره للمأموم وقوفه منفردا عن الصف
Artinya, “Dimakruhkan bagi makmum berdiri sendirian dalam barisan.”
Makruh jika posisi imam lebih tinggi dari makmum atau sebaliknya dikecualikan ada kebutuhan. Namun, jika ada kebutuhan seperti mengajari makmum atau menyampaikan takbir imam bagi mubalig, tidak dimakruhkan justru dianjurkan. Demikian posisi-posisi makmum yang dimakruhkan dan dapat menghapus atau mengurangi keutamaan shalat berjamaah, sebagaimana yang diuraikan oleh Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, dalam Kitab Minhajul Qawim.
Demikian bahasan mengenai posisi makmum berikut beberapa alasan yang melatar belakanginya, kini kita buka sedikit tentang posisi makmum perempuan.Sebagaimana yang umum tercantum dalam literatur fiqih, konsep penataan shaf yang dianjurkan dalam shalat berjamaah adalah berurutan mulai dari laki-laki dewasa, anak kecil, dan shaf terakhir ditempati oleh perempuan. Sehingga, ketika ketentuan penataan shaf dengan formasi demikian dilanggar, maka dihukumi makruh yang akan berpengaruh dalam hal hilangnya fadilah jamaah dari ritual shalat berjamaah yang dilakukan. Penjelasan tentang perempuan menempati posisi shaf paling belakang berdasarkan hadits:
خير صفوف الرجال أولها وشرها آخرها وخير صفوف النساء آخرها وشرها أولها (رواه مسلم) ـ
“Shaf yang paling baik bagi laki-laki adalah shaf yang paling awal, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling akhir. Dan shaf yang paling baik bagi wanita adalah shaf yang paling akhir, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling awal.” (HR. Muslim)
Maksud dari redaksi “shaf yang paling buruk” dalam hadits di atas adalah bahwa menempati shaf tersebut mendapatkan pahala yang paling sedikit dan dianggap menjauhi anjuran syara’. Namun hal yang layak untuk cermati lebih dalam, apakah makna dari hadits di atas adalah umum dan meyeluruh pada seluruh shaf yang berlaku dalam shalat berjamaah? Atau hanya bermakna khusus, karena ada illat (penyebab atau alasan dasar) tertentu yang mendasari wanita dianjurkan berada di shaf paling belakang?
Mengingat realitas yang sering terlaku di masyarakat, posisi shaf wanita berada di bagian kanan atau kiri jamaah laki-laki yang menempati ruang berbeda atau dipisah dengan satir (penghalang) antara jamaah wanita dan jamaah laki-laki,sehingga para jamaah wanita ini sejajar dengan shaf jamaah laki-laki dalam shalat berjamaah. Setelah ditelaah secara mendalam, ternyata hal yang mendasari penempatan shaf wanita berada di akhir adalah dikarenakan konteks penempatan shalat berjamaah dalam hadits di atas yaitu ketika antara laki-laki dan wanita berada di satu tempat yang sama (ikhtilath). Sehingga ketika wanita berada di shaf awal, secara otomatis mereka bersanding dengan jamaah laki-laki dan hal ini jelas dianggap tidak pantas.
Oleh sebab itu, wanita dianjurkan untuk menjauh dari jamaah laki-laki dengan menempati shaf yang paling belakang agar dapat terhindar dari fitnah serta larangan percampuran antara laki-laki dan perempuan dalam satu ruangan. Sehingga ketika wanita dalam shalat berjamaahnya berada di ruangan tersendiri atau dipisah dengan penghalang yang mencegah pandangan jamaah laki-laki dari jamaah wanita, maka dalam keadaan demikian, posisi shaf yang paling utama bagi wanita adalah shaf yang paling awal, sebab illat (alasan yang mendasari sebuah hukum) kesunnahan menempati shaf paling belakang bagi wanita yang berupa menghindari fitnah dan percampuran dengan laki-laki dalam satu tempat, dalam keadaan ini illat tersebut sudah tidak wujud, sehingga hukum yang dihasilkan menjadi berbeda.
Ketentuan demikian seperti yang dijelaskan dalam kitab Tafsir Ruh al-Bayan:
خير صفوف الرجال أولها وشرها آخرها وخير صفوف النساء آخرها وشرها أولها قال في فتح القريب هذا ليس على عمومه بل محمول على ما إذا اختلطن بالرجال فإذا صلين متميزات لا مع الرجال فهن كالرجال ومن صلى منهن في جانب بعيد عن الرجال فأول صفوفهن خير لزوال العلة والمراد بشر الصفوف في الرجال والنساء كونها أقل ثواباً وفضلاً وأبعدها عن مطلوب الشرع وخيرها بعكسه
“Shaf yang paling baik bagi laki-laki adalah shaf yang paling awal, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling akhir. Dan shaf yang paling baik bagi wanita adalah shaf yang paling akhir, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling awal. Dalam kitab Fath al-Qarib dijelaskan bahwa hadits ini tidaklah bermakna seperti halnya keumumannya akan tetapi diarahkan ketika wanita berkumpul bersama dengan laki-laki (dalam shalat berjamaah). Ketika para wanita shalat secara terpisah, tidak bersama dengan laki-laki, maka dalam hal ini mereka seperti laki-laki (dalam hal shaf yang paling utama adalah shaf yang di depan). Wanita yang shalat di tempat yang jauh dari jangkauan jamaah laki-laki maka awal shaf bagi wanita tersebut adalah shaf yang paling baik, dikarenakan hilangnya illah (alasan yang mendasari sebuah hukum). maksud dari “seburuk-buruknya shaf bagi laki-laki dan wanita” bahwa menempati shaf tersebut mendapatkan pahala yang paling sedikit dan dianggap menjauhi anjuran syara’, sedangkan hal yang paling baik adalah kebalikannya.” (Syekh Isma’il Haqi bin Mushtafa al-Hanafi, Tafsir Ruh al-Bayan, juz 4, hal. 303)
Berdasarkan referensi tersebut maka tradisi yang sering terlaku di masyarakat berupa penempatan shaf wanita yang berada di awal shaf shalat berjamaah merupakan hal yang sudah benar dan tidak perlu disalahkan, bahkan merupakan hal yang dianjurkan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asalnya shaf jamaah wanita dalam shalat berjamaah menempati posisi shaf yang paling akhir, sesuai dengan penjelasan yang terdapat dalam hadits. Namun anjuran tersebut hanya berlaku ketika laki-laki dan perempuan berada dalam satu tempat tanpa adanya pemisah. Sehingga ketika jamaah wanita berada di tempat yang berbeda dan terpisah dari jamaah laki-laki, maka shaf awal adalah shaf yang paling dianjurkan bagi mereka, seperti halnya ketentuan shaf yang dianjurkan bagi laki-laki. Semoga bermanfaat… Wallahu a’lam.