OpiniSumsel

Mengenali Qurban dan Mencari Alternatif Pelaksanaan Bagi Yang Kurang Mampu

×

Mengenali Qurban dan Mencari Alternatif Pelaksanaan Bagi Yang Kurang Mampu

Sebarkan artikel ini
INTI BUDAYA LITERASI
Persembahan Ust. Ahmad Yasin,S.H.I.,M.Pd. DOSEN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNBARA, PENGURUS NU DAN PENYULUH AGAMA ISLAM OKU

Ahmad Yasin

Dosen Pendidikan Agama Islam UNBARA, Penyuluh Agama Islam dan Pengurus NU Kab. OKU

Idul Adha identik dengan kurban. Yang sekaligus menjadi ajang berbagi sesama. Pada hari itu, semua muslim di manapun merasakan nikmatnya makan daging kurban.

Bagi orang kaya mungkin makan sesuatu yang lumrah, namun hal ini sangat istimewa bagi orang yang tidak mampu.

Bahkan, bisa jadi mereka hanya sekali dalam setahun makan daging. Karena itu, sangat dianjurkan berkurban bagi orang mampu.

Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid menyebutkan, ulama berbeda pendapat mengenai hukum berkurban.

Ulama madzhab Syafi’i dan Maliki menghukuminya sunah muakkadah.

Sementara madzhab Hanafi mewajibkan kurban bagi orang mampu serta menetap, dan tidak wajib bagi musafir. Kendati berbeda pendapat, terpenting mayoritas ulama sangat menganjurkan berkurban.

Sebab di samping pelakunya mendapatkan pahala, kurban juga memiliki implikasi sosial.

Karenanya, hampir di seluruh daerah di Indonesia, pengurus masjid atau yayasan keagamaan berusaha semaksimal mungkin mencari para donator yang ingin berkurban.

Dalam rangka meraih banyak donatur, panitia kurban juga mempermudah jalannya. Berkurban tidak harus sendiri, tetapi juga boleh patungan.

Terutama untuk kurban sapi, kebanyakan masyarakat tidak mampu membelinya sendiri. Mereka biasanya patungan beberapa orang untuk membelinya. Apakah patungan kurban sapi ini diperbolehkan?

PENGERTIAN QURBAN

Kata kurban menurut etimologi berasal dari bahasa Arab qariba – yaqrabu – qurban wa qurbanan wa qirbanan, yang artinya dekat (Ibn Manzhur: 1992:1:662; Munawir:1984:1185).

Maksudnya yaitu mendekatkan diri kepada Allah, dengan mengerjakan sebagian perintah-Nya. Yang di maksud dari kata kurban yang di gunakan bahasa sehari-hari, dalam istilah agama disebut “udhhiyah” bentuk jamak dari kata “dhahiyyah” yang berasal dari kata “dhaha” (waktu dhuha), yaitu sembelihan di waktu dhuha pada tanggal 10 sampai dengan tanggal 13 bulan Dzulhijjah.

Para ulama sepakat bahwa semu hewan ternak boleh di jadikan untuk kurban. Hanya saja ada perbedaan pendapat mengenai mana yang lebih utama dari jenis-jenis hewan tersebut.

Imam Malik berpendapat bahwa yang paling utama adalah kambing atau domba, kemudian sapi, lalu unta.

Sedangkan Imam al-Syafi’i berpendapat sebaliknya, yaitu yang paling utama adalah unta, di susul kemudian sapi, lalu kambing (Ibn Rusyd: tt: I:315).

Agar ibadah kurbannya sah menurut syariat, seorang yang hendak berkurban harus memperhatikan sejumlah kriteria dari hewan yang akan di sembelihnya. Ketentuan tersebut di klasifisikasikan sesuai dengan usia dan jenis hewan kurban, yaitu:

1. Domba (dha’n) harus mencapai minimal usia satu tahun lebih, atau sudah berganti giginya (al-jadza’).

Rasulullah Shallallâhu Alaihi Wasallam bersabda: Sembelilhlah domba yang jadza’, karena itu di perbolehkan. (Hadits Shahih, riwayat Ibn Majah: 3130 Ahmad: 25826)

2. Kambing kacang (ma’z) harus mencapai usia minimal dua tahun lebih.

3. Sapi dan kerbau harus mencapai usia minimal dua tahun lebih.

4. Unta harus mencapai usia lima tahun atau lebih.  (Lihat: Musthafa: Dib al-Bigha: 1978:241).

Selain kriteria di atas, hewan-hewan tersebut harus dalam kondisi sehat dan tidak cacat. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallâhu Alaihi Wasallam yang diriwayatkan dari Al-Barra bin Azib radliyallâhu ‘anh sebagai berikut:

أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي الْأَضَاحِيِّ فَقَالَ الْعَوْرَاءُ بَيِّنٌ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ بَيِّنٌ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ بَيِّنٌ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرُ الَّتِي لَا تَنْقَى

Artinya: Ada empat macam hewan yang tidak sah di jadikan hewan kurban: (1) yang (matanya) jelas-jelas buta (picek), (2) yang (fisiknya) jelas-jelas dalam keadaan sakit, (3) yang (kakinya) jelas-jelas pincang, dan (4) yang (badannya) kurus lagi tak berlemak. (Hadits Hasan Shahih, riwayat Al-Tirmidzi: 1417 dan Abu Dawud: 2420)

Akan tetapi, ada beberapa cacat hewan yang tidak menghalangi sahnya ibadah kurban, yaitu; Hewan yang di kebiri dan hewan yang pecah tanduknya. Adapun cacat hewan yang putus telinga atau ekornya, tetap tidak sah untuk di jadikan kurban. (Dr. Musthafa, Dib al-Bigha: 1978: 243).

Hal ini di karenakan cacat yang pertama tidak mengakibatkan dagingnya berkurang (cacat bathin), sedangkan cacat yang kedua mengakibatkan dagingnya berkurang (cacat fisik).

Dari sini muncul istilah Idul Adha.   Dari uraian tersebut, dapat di pahami yang di maksud dari kata qurban atau udhhiyah dalam pengertian syara, ialah menyembelih hewan dengan tujuan beribadah kepada Allah pada Hari Raya Haji atau Idul Adha dan tiga Hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 bulan Dzulhijjah.

B. Hukum Kurban

Ibadah kurban hukumnya adalah sunnah muakkad, atau sunnah yang di kuatkan. Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan ibadah kurban sejak di syariatkannya sampai beliau wafat.

Ketentuan kurban sebagai sunnah muakkad di kukuhkan oleh Imam Malik dan Imam al-Syafi’i. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa ibadah kurban bagi penduduk yang mampu dan tidak dalam keadaan safar (bepergian), hukumnya adalah wajib. (Ibnu Rusyd al-Hafid: tth: 1/314).

Keutamaan Kurban

Menyembelih kurban adalah suatu sunnah Rasul yang sarat dengan hikmah dan keutamaan. Hal ini didasarkan atas informasi dari beberapa haditst Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam, antara lain:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

Aisyah menuturkan dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda, “Tidak ada suatu amalan yang dikerjakan anak Adam (manusia) pada hari raya Idul Adha yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan. Karena hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya. Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya.” (Hadits Hasan, riwayat al-Tirmidzi: 1413 dan Ibn Majah: 3117)

Menurut Zain al-Arab, ibadah yang paling utama pada hari raya Idul Adha adalah menyembelih hewan untuk kurban karena Allah.

Sebab pada hari kiamat nanti, hewan itu akan mendatangi orang yang menyembelihnya dalam keadaan utuh seperti di dunia, setiap anggotanya tidak ada yang kurang sedikit pun dan semuanya akan menjadi nilai pahala baginya.

Kemudian hewan itu digambarkan secara metaphoris akan menjadi kendaraanya untuk berjalan melewati shirath.

Demikian ini merupakan balasan dan bukti keridhaan Allah kepada orang yang melakukan ibadah kurban tersebut. (Abul Ala al-Mubarakfuri: tt: V/62)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang memiliki kemampuan untuk berkurban, tetapi ia tidak mau berkurban, maka sesekali janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Masih banyak lagi sabda Nabi yang lain, menjelaskan tentang keutamaan berkurban. Bahkan pada haditst terakhir, disebutkan bahwa orang yang sudah mampu berkorban, tetapi tidak mau melaksanakanya.

Maka ia dilarang mendekati tempat shalat Rasulullah atau tempat (majelis) kebaikan lainya.   Ibadah kurban yang dilaksanakan pada hari raya Idul Adha sampai hari tasyrik, tiada lain bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Di samping itu, kurban juga berarti menghilangkan sikap egoisme, nafsu serakah, dan sifat individual dalam diri seorang muslim.

Dengan berkurban, di harapkan seseorang akan memaknai hidupnya untuk mencapai ridha Allah semata. Ia “korbankan” segalanya (jiwa, harta, dan keluarga) hanya untuk-Nya.

Oleh karena itu, pada hakikatnya, yang di terima Allah dari ibadah kurban itu bukanlah daging atau darah hewan yang di kurbakan, melainkan ketakwaan dan ketulusan dari orang yang berkurban, itulah yang sampai kepada-Nya.

Hakikat Kurban

Kurban dalam dimensi vertikal adalah bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah supaya mendapatkan keridhaan-Nya. Sedangkan dalam dimensi sosial, kurban bertujuan untuk menggembirakan kaum fakir pada Hari Raya Adha, sebagaimana pada Hari Raya Fitri mereka digembirakan dengan zakat fitrah.

Karena itu, daging kurban hendaklah diberikan kepada mereka yang membutuhkan, boleh menyisakan secukupnya untuk dikonsumsi keluarga yang berkurban, dengan tetap mengutamakan kaum fakir dan miskin.   Allah berfirman:

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. al-Hajj, 22:28)

Dengan demikian kurban merupakan salah satu ibadah yang dapat menjalin hubungan vertikal dan horizontal.

Kriteria Hewan Kurban

Para ulama sepakat bahwa semua hewan ternak boleh di jadikan untuk kurban.

Hanya saja ada perbedaan pendapat mengenai mana yang lebih utama dari jenis-jenis hewan tersebut.

Imam Malik berpendapat bahwa yang paling utama adalah kambing atau domba, kemudian sapi, lalu unta.

Sedangkan Imam al-Syafi’i berpendapat sebaliknya, yaitu yang paling utama adalah unta, di susul kemudian sapi, lalu kambing (Ibn Rusyd: tt: I:315).

Agar ibadah kurbannya sah menurut syariat, seorang yang hendak berkurban harus memperhatikan kriteria-kriteria dari hewan yang akan di sembelihnya. Kriteria-kriteria tersebut di klasifisikasikan sesuai dengan usia dan jenis hewan kurban, yaitu:

A. Domba (dha’n) harus mencapai minimal usia satu tahun lebih, atau sudah berganti giginya (al-jadza’). Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sembelilhlah domba yang jadza’, karena itu diperbolehkan.” (Hadits Shahih, riwayat Ibn Majah: 3130 Ahmad: 25826)

B. Kambing kacang (ma’z) harus mencapai usia minimal dua tahun lebih.

C. Sapi dan kerbau harus mencapai usia minimal dua tahun lebih.

D. Unta harus mencapai usia lima tahun atau lebih.   (Musthafa Dib al-Bigha: 1978:241).

Selain kriteria di atas, hewan-hewan tersebut harus dalam kondisi sehat dan tidak cacat. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam yang di riwayatkan dari al-Barra bin Azib radliyallâhu ‘anh:

أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي الْأَضَاحِيِّ فَقَالَ الْعَوْرَاءُ بَيِّنٌ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ بَيِّنٌ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ بَيِّنٌ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرُ الَّتِي لَا تَنْقَى

“Ada empat macam hewan yang tidak sah di jadikan hewan kurban, “(1) yang (matanya) jelas-jelas buta (picek), (2) yang (fisiknya) jelas-jelas dalam keadaan sakit, (3) yang (kakinya) jelas-jelas pincang, dan (4) yang (badannya) kurus lagi tak berlemak.” (Hadits Hasan Shahih, riwayat al-Tirmidzi: 1417 dan Abu Dawud: 2420).

Akan tetapi, ada beberapa cacat hewan yang tidak menghalangi sahnya ibadah kurban, yaitu; Hewan yang di kebiri dan hewan yang pecah tanduknya.

Adapun cacat hewan yang putus telinga atau ekornya, tetap tidak sah untuk di jadikan kurban. (Dr. Musthafa, Dib al-Bigha: 1978:243).

Hal ini di karenakan cacat yang pertama tidak mengakibatkan dagingnya berkurang (cacat bathin), sedangkan cacat yang kedua mengakibatkan dagingnya berkurang (cacat fisik).

Ketentuan Kurban

Berkurban dengan seekor kambing atau domba di peruntukkan untuk satu orang, sedangkan unta, sapi dan kerbau di peruntukkan untuk berkurban tujuh orang. Ketentuan ini dapat disimpulkan dari hadits berikut:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ

Di riwayatkan dari Jabir bin Abdillah, “Kami telah menyembelih kurban bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam pada tahun Hudaibiyah seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi juga untuk tujuh orang.” (Hadits Shahih, riwayat Muslim: 2322, Abu Dawud: 2426, al-Tirmidzi: 1422 dan Ibn Majah: 3123).

Hadits selanjutnya menjelaskan tentang berkurban dengan seekor domba yang di lakukan oleh Rasulullah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ فَأُتِيَ بِهِ لِيُضَحِّيَ بِهِ فَقَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ (يعني السكين) ثُمَّ قَالَ اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ.

“Dari Aisyah radliyallâhu ‘anhâ, menginformasikan sesungguhnya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam menyuruh untuk mendatangkan satu ekor domba (kibas) yang bertanduk . Kemudian domba itu di datangkan kepadanya untuk melaksanakan kurban. Beliau berkata kepada Aisyah: Wahai Aisyah, ambilkan untukku pisau (golok).

Nabi selanjutnya memerintahkan Aisyah: Asahlah golok itu pada batu (asah). Aisyah kemudian melakukan sebagaimana yang di perintahkan Rasulullah.

Kemudian Nabi mengambil golok itu dan mengambil domba (kibasy), kemudian membaringkannya, dan menyembelihnya sambil berdoa: Dengan nama Allah, wahai Allah terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan umat Muhammad, beliau berkurban dengan domba itu”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim 1967).

Doa Nabi dalam hadits di atas, ketika beliau melaksanakan kurban: “Wahai Allah, terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan umat Muhammad” tidak bisa di pahami bahwa kurban dengan satu domba cukup untuk keluarga dan untuk semua umat Nabi. Penyebutan itu hanya dalam rangka menyertakan dalam memperoleh pahala dari kurban tersebut.

Apabila di pahami bahwa berkurban dengan satu kambing cukup untuk satu keluarga dan seluruh umat Nabi Muhammad, maka tidak ada lagi orang yang berkurban.

Dengan demikian, pemahaman bahwa satu domba bisa untuk berkurban satu keluarga dan seluruh umat, harus di luruskan dan di betulkan sesuai dengan ketentuan satu domba untuk satu orang, sedangkan onta, sapi, dan kerbau untuk tujuh orang sebagaimana di jelaskan hadits di atas.

Waktu menyembelih kurban di mulai setelah matahari setinggi tombak atau seusai shalat Idul Adha (10 Dzulhijjah) sampai terbenam matahari tanggal 13 Dzulhijjah.

Sedangkan distribusi (pembagian) daging kurban di bagi menjadi tiga bagian dan tidak mesti harus sama rata. Ketiga bagian itu,

(1) untuk fakir miskin,

(2) untuk dihadiahkan, dan

(3) untuk dirinya sendiri dan keluarga secukupnya.

Dengan catatan, porsi untuk dihadiahkan dan untuk dikonsumsi sendiri tidak lebih dari sepertiga daging kurban.

Meskipun demikian memperbanyak pemberian kepada fakir miskin lebih utama. (Dhib al-Bigha:1978:245).

Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan, mayoritas ulama memperbolehkan patungan kurban.

Syaratnya, hewan yang di kurbankan adalah sapi dan jumlah maksimal orang yang patungan ialah tujuh orang.

Berdasarkan persyaratan ini, patungan untuk kurban kambing tidak di perbolehkan dan lebih dari tujuh orang untuk kurban sapi juga tidak di bolehkan. Ibnu Qudamah menuliskan:

وتجزئ البدنة عن سبعة وكذلك البقرة وهذا قول أكثر أهل العلم

Artinya, “Kurban satu ekor unta ataupun sapi atas nama tujuh orang di perbolehkan oleh mayoritas ulama.” Sebagaimana di kutip Ibnu Qudamah, menurut Ahmad bin Hanbal, hanya Ibnu umar yang tidak membolehkannya. Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Kebanyakan ulama yang aku ketahui membolehkan patungan kurban kecuali Ibnu Umar.”

Pendapat Ibnu Qudamah di atas tidak jauh berbeda dengan An-Nawawi. Dalam pandangannya, patungan kurban sapi atau unta sebanyak tujuh orang di bolehkan, baik yang patungan itu bagian dari kelurganya maupun orang lain. An-Nawawi dalam Al-Majmu’ mengatakan:

يجوز أن يشترك سبعة في بدنة أو بقرة للتضحية سواء كانوا كلهم أهل بيت واحد أو متفرقين

Artinya, “Di bolehkan patungan sebanyak tujuh orang untuk kurban unta atau sapi, baik keseluruhannya bagian dari keluarga maupun orang lain.” Kebolehan patungan kurban ini memiliki landasan kuat dalam hadits Nabi SAW. Sebagaimana yang tercatat dalam Al-Mustadrak karya Al-Hakim, Ibnu Abbas mengisahkan:

كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر فحضر النحر فاشتركنا في البقرة عن سبعة

Artinya, “Kami pernah berpergia

bersama Rasulullah SAW, kebetulan di tengah perjalanan hari raya Idul Adha (yaumun nahr) datang. Akhirnya, kami patungan membeli sapi sebanyak tujuh orang untuk dikurbankan,” (HR Al-Hakim). Jabir bin ‘Abdullah juga pernah mengisahkan:

كنا نتمتع مع رسول الله صلى الله عليه وسلم بالعمرة، فنذبخ البقرة عن سبعة نشترك فيها

Artinya, “Kami pernah ikut haji tamattu’ (mendahulukan ‘umrah daripada haji) bersama Rasulullah SAW, lalu kami menyembelih sapi dari hasil patungan sebanyak tujuh orang.” (HR Muslim).

Dari beberapa pendapat di atas, serta di dukung oleh hadits Nabi SAW, dapat di simpulkan bahwa patungan untuk membeli sapi yang akan di kurbankan di perbolehkan dengan syarat pesertanya tidak lebih dari tujuh orang.

Hal ini di khususkan untuk sapi dan unta saja, sementara kambing ataupun domba hanya boleh untuk satu orang, tidak boleh patungan bila niatnya untuk kurban. Wallahu a’lam.

Demikian tulisan ini di sampaikan, semoga bermanfaat. Mohon maaf apabila ada kekeliruan dan kesalahan. Wallahu a’lam bish shawâb. (*)

Dapatkan berita terupdate OKU SATU di Google News