Peran-peran kebangsaan para ulama justru memberikan sumbangsih besar atas eksistensi negara hingga saat ini.
Produk pemikiran ulama NU seperti Indonesia sebagai Darul Islam (1936), pengangkatan Presiden Soekarno sebagai waliyyul ‘amri ad-dharuri bissyaukah (1954), hingga pembentukan Trikora sebagai solusi Papua Barat, merupakan bukti bahwa para kiai memegang peranan penting sebagai aktornya dan kaidah fikih sebagai senjatanya.
Sebuah kaidah fiqih berbunyi Al-ashlu baqa’u ma kana ‘ala ma kana (hukum asal sesuatu adalah berlakunya kondisi sebelum terjadinya perubahan) yang awalnya dirumuskan guna menyelesaikan problem praduga tak bersalah dalam hukum Islam, di tangan para kiai, menjadi cara pandang visioner yang melegitimasi Indonesia sebagai Darul Islam.
Sikap tegas NU terkait darul Islam dibahas melalui Muktamar ke-11 NU tahun 1936 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ini menunjukkan bahwa ketegasan NU menolak darul Islam Kartosoewirjo mempunyai dasar, tidak dilakukan secara srampangan.