Dalam transaksi yang fasid (rusak) kedua belah pihak (penjual dan pembeli) berkewajiban untuk mengembalikan barang yang telah mereka tukarkan saat akad jual-beli, sebab akad jual-beli yang dilakukan oleh kedua belah pihak dianggap tidak nufudz (tidak diakui syara’), walaupun sebenarnya kedua belah pihak sama-sama merelakan barangnya untuk ditukarkan.
Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab Fatawa ar-Ramli:
(سُئِلَ) هَلْ الْمَأْخُوذُ بِالْبَيْعِ الْفَاسِدِ مَعَ رِضَا الْمُتَبَايِعَيْنِ حَلَالٌ أَمْ لَا ؟ (فَأَجَابَ) بِأَنَّهُ لَا يَحِلُّ لِلْآخِذِ لَهُ التَّصَرُّفُ فِيهِ لِأَنَّهُ يَجِبُ عَلَى كُلٍّ مِنْهُمَا رَدُّ مَا أَخَذَهُ عَلَى مَالِكِهِ
“Apakah harta yang diambil atas jual beli yang fasid (tidak sah) besertaan kerelaan kedua belah pihak (penjual dan pembeli) merupakan hal yang halal atau haram?” Imam ar-Ramli menjawab: “Tidak halal bagi orang yang mengambil harta tersebut untuk membelanjakannya, sebab hal yang wajib bagi mereka berdua adalah mengembalikan setiap harta yang mereka terima kepada pemilik asal” (Syihabuddin ar-Ramli, Fatawa ar-Ramli, juz 2, hal. 470).