كُلُّ مَا ذَكَرْنَاهُ سَابِقًا مِنَ الْوُجُوْهِ فِي مَشْرُوعِيَةِ الْمَوْلِدِ إِنَّمَا هُوَ فِي الْمَوْلِدِ الَّذِيْ هُوَ أَخْلَا مِنَ الْمُنْكَرَاتِ الْمَذْمُوْمَةِ الَّتِي يَجِبُ الْإِنْكَارُ عَلَيْهِ عَلَيْهَا أَمَّا إِذَا اشْتَمَلَ الْمَوْلِدُ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا يَجِبُ الْإِنْكَارُ عَلَيْهِ كَاخْتِلَاطِ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَارْتِكَابِ الْمُحَرَّمَاتِ وَكَثْرَةِ الْإِسْرَافِ فَهَذَا لَا شَكَّ فِي تَحْرِيْمِهِ وَمَنْعِهِ
Artinya, “Seluruh hal yang telah disampaikan tadi berisi ragam pendapat mengenai pensyariatan maulid (perayaan ulang tahun) dan hanya berlaku pada acara ulang tahun yang tidak terdapat unsur kemungkaran yang tercela di dalamnya.
Namun apabila acara ulang tahun tersebut mengandung unsur kemungkaran, seperti halnya terjadi pencampuran antara laki-laki dan perempuan, melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan, dan memboroskan harta, maka hal ini tidak disangsikan lagi keharamannya.” (Yusuf Khathar Muhammad, Al-Mausu’ah Al-Yusufiyah, [Mesir: Dar At-Taqwa], juz I, halaman 147-148).