Berdasarkan Undang-undang dan peraturan zakat yang ada, terdapat 3 pengelola zakat di Indonesia yakni pertama, Badan Amil Zakat Nasional atau (BAZNAS) baik di tingkat Nasional, Provinsi maupun Kabupaten, kedua, Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sudah diberi izin oleh BAZNAS, dan ketiga Pengelola Zakat Perseorangan atau Kumpulan Perseorangan dalam masyarakat di komunitas atau wilayah yang belum terjangkau oleh BAZNAS dan LAZ dan diakui oleh BAZNAS Kabupaten atau LAZ Kabupaten.
Syaikh Mahfudz Termas dalam Hasyiah At-Termasi menjelaskan sebagai berikut:
قَوْلُهُ وَالْعَامِلُوْنَ عَلَيْهَا أَيْ الزَّكَاةِ يَعْنِى مَنْ نَصَبَهُ الْإِمَامِ فِى أَخْذِ الْعُمَالَةِ مِنَ الزَّكَوَاتِ….إلى أن قال….وَمُقْتَضَاهُ أَنَّ مَنْ عَمِلَ مُتَبَرِّعًا لاَيَسْتَحِقُّ شَيْئًا عَلىَ الْقَاعِدَةِ
Artinya: “Amil zakat ialah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk menarik harta zakat…..Menurut tuntunan redaksi pengarang, sesungguhnya orang yang melaksanakan tugas menarik zakat secara tabarru’ (sukarelawan) maka tidak masuk dalam sebuah kaidah/peraturan di atas” (Muhammad Mahfudz At-Turmusi, Hasyiah At-Termasi, [Jedah, Darul Minhaj: 2011] jilid. Halaman 404).
Jadi bisa dipahami bahwa orang yang bekerja sukarela yaitu yang tidak diangkat oleh pemerintah tidak berhak mendapatkan bagian zakat atas nama amil.
Mengambil zakat atas nama amil adalah suatu kezaliman dan menyebabkan tidak sahnya zakat seseorang. Status panitia zakat adalah wakil dari muzakki, sedangkan amil adalah wakil dari mustahiq.
Ketika zakat dibayarkan kepada amil, secara otomatis zakat tersebut sah dan kewajiban zakat dari muzakki gugur. Sebaliknya jika zakat dibayarkan ke panitia zakat, kewajiban zakat dari muzakki belum gugur sebelum panitia zakat menyalurkannya ke mustahiq.
Hal ini disebabkan karena status panitia zakat bukan amil syar’i, melainkan hanya wakil dari muzakki untuk membayarkan zakatnya kepada mustahiq.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj bi Syarhil Minhaj menjelaskan:
(وَلَوْ دَفَعَ اِلَى السُّلْطَانِ) اَوْ نَائِبِهِ كَالسَّاعِى (كَفَتِ النِّيَّةُ عِنْدَهُ) أَيْ عِنْدَ الدَّفْعِ اِلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَنْوِى السُّلْطَانُ عِنْدَ الصَّرْفِ لِأَنَّهُ نَائِبُ الْمُسْتَحِقِّيْنَ فَالدَّفْعُ اِلَيْهِ كَالدَّفْعِ اِلَيْهِمْ وَلِهَذَا أَجْزَأَتْ وَإِنْ تَلِفَتْ عِنْدَهُ بِخِلَافِ الْوَكِيْلِ
Artinya: “Jika muzakki menyerahkan zakatnya kepada pemerintah atau wakil pemerintah (orang yang diberikan wewenang untuk mengambil zakat), maka cukup niat zakat ketika menyerahkan kepada pemerintah, walaupun pemerintah tidak meniatkan ketika menyalurkan kepada mustahiq, karena pemerintah adalah wakil dari mustahiq, menyerahkan zakat kepadanya sama dengan menyerahkan langsung kepada mustahiq, oleh sebab itu niat dari muzakki memadai (dianggap sah) ketika ia menyerahkan kepada pemerintah, sekalipun zakat itu rusak di tangan pemerintah, lain halnya dengan wakil (bukan pemerintah)”. ( Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj Bi Syarhil Minhaj, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2001], jilid I halaman 495).
Karena panitia zakat berstatus sebagai wakil muzakki maka keabsahan zakat tergantung pada tersalurkannya zakat kepada mustahiq. Sebelum zakat diterima mustahiq, zakat belum dianggap sah.
Oleh karenanya menyalurkan zakat secara langsung oleh muzakki lebih utama dari pada menitipkannya melalui panitia zakat, karena hal itu lebih meyakinkan.
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah Muhazab menjelaskan:
(الرَّابِعَةُ) فِى بَيَانِ الْأَفْضَلِ: قَالَ أَصْحَابُنَا: تَفْرِيْقُهُ بِنَفْسِهِ أَفْضَلُ مِنَ التَّوْكِيْلِ بِلَا خِلَافٍ لِأَنَّهُ عَلَى ثِقَةٍ مِنْ تَفْرِيْقِهِ بِخِلاَفِ الْوَكِيْلِ, وَعَلَى تَقْدِيْرِ خِيَانَةِ الْوَكِيْلِ لَا يَسْقُطُ الْفَرْضُ عَنِ الْمَالِكِ لِأَنَّ يَدَهُ كَيْدَهُ, فَمَا لَمْ يَصِلِ الْمَالُ اِلَى الْمُسْتَحِقِّيْنَ لاَ تَبْرَأُ ذِمَّةُ الْمَالِكِ بِخِلاَفِ دَفْعِهَا اِلَى اْلإِمَامِ فَإِنَّهُ بِمُجَرَّدِ قَبْضِهِ تَسْقُطُ الزَّكاَةُ عَنِ الْمَالِكِ
Artinya: “Yang ke empat: Menyalurkan zakat sendiri lebih baik daripada berwakil tanpa ada khilaf ulama, karena menyalurkan sendiri lebih bisa dipercaya daripada berwakil, jika wakil berkhianat (tidak menyampaikan zakat) kewajiban itu belum gugur dari muzakki. Selama harta belum sampai kepada mustahiq, tanggung jawab belum lepas dari muzakki.
Berbeda jika diserahkan kepada imam (pemerintah), begitu harta itu diterima oleh imam maka gugur kewajiban zakat dari muzakki”. (Abi Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Majmu’ Syarh Muhazzab, [Jedah, Maktabah Al-Irsyad: t.th] jilid 6 halaman 138).
Dari penjelasan ini bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut: Panitia zakat yang dibentuk secara swakarsa oleh masyarakat bukanlah amil zakat.
Zakat yang diserahkan kepada panitia zakat belum dianggap sah sebelum zakat itu disalurkan kepada mustahiq.
Berbeda jika zakat yang diserahkan kepada Amil sudah dianggap sah secara hukum, meskipun Amil belum menyerahkannya kepada mustahiq.
Andaikan zakat tersebut hilang atau rusak di tangan panitia zakat maka akan menjadi tanggung jawab muzakki.
Berbeda jika hilang atau rusaknya di tangan amil, zakat tetap dianggap sah. Bagi panitia zakat yang ingin menjadi amil zakat syar’i bisa mengusulkan panitianya untuk diusulkan menjadi amil sesuai perundang-undangan yang berlaku. (*)