Padahal keberlangsungan Islam dengan segala manifestasinya selalu ditopang dengan kekuatan ilmu. Sehingga segala bentuk ibadah tidak sah jika dilaksanakan tanpa ilmu. Imam Al-Zarnuji dalam kitab Ta’limul Muta’allim menegaskan:
… فَإِنَّ بَقَاءَ الْإِسْلَامِ بِالْعِلْمِ وَلَا يَصِحُّ الزُّهْدُ وَالتَّقْوَى مَعَ الْجَهْلِ
Artinya, “Sungguh kelestarian Islam itu terjadi dengan ilmu. Zuhud dan taqwa tidak sah disertai kebodohan.” (Burhanul Islam Az-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim, [Beirut, Al-Maktabah Al-Islami : 1981], halaman 66).
Dengan mengutip hadis Nabi Muhammad saw, Imam Al-Ghazali menuturkan bahwa hal yang paling utama sebagai modal dasar menyembah Allah swt adalah pemahaman agama secara mendalam.
Bahkan pemahaman seperti ini merupakan tiang agama. Ia menegaskan dalam kitab Ihya’:
قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: مَا عُبِدَ اللهُ تَعَالَى بِشَيْءٍ أَفْضَلَ مِنْ فِقْهٍ فِى الدِّيْنِ … وَلِكُلِّ شَيْءٍ عِمَادٌ وَعِمَادُ هَذَا الدِّيْنِ الْفِقْهُ
Artinya, “Nabi Muhammad saw bersabda: “Allah swt tidak disembah dengan sesuatu yang lebih utama dariapda pemahaman terhadap agama yang benar, … Setiap sesuatu ada tiangnya dan tiang agama ini adalah pemahaman agama yang benar.” (HR At-Thabarani). (Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Jeddah, Darul Minhaj lin Nasyr Wat Tauzi’: 2011], juz I, halaman 26).