Setiap memutar film, pengelola bioskop akan menghidupkan mesin diesel jumbo. Dari mesin tersebut, menghasilkan energi listrik yang digunakan untuk memutar mesin proyektor.
“Listrik belum masuk, jadi harus makai mesin diesel. Waktu itu, film pakai kaset pita besar, ” kenangnya.
Warga yang mau nonton film dikenakan tarif Rp 700 per tiket. Harga tiket sama, namun yang membedakan tempat duduknya.
“Yang beli duluan dapat tempat duduk di depan, ” jelasnya.
Saat itu film yang paling diburu masyarakat, adalah film laga. Umumnya, drama yang kerap didengar di radio, yang kemudian muncul dalam versi audio visualnya.
“Sandiwara radio seperti Saur Sepuh yang kemudian dibuat film, masyarakat sangat senang menontonnya, ” ungkapnya.
Seiring waktu, gedung bioskop jarang memutar film. Pemicunya, masyarakat sudah banyak membeli parabola, karena listrik PLN sudah merambah ke kawasan transmigran.