Abu Lahab menjawab, ‘Tak satu pun amal baik yang pernah kulakukan kecuali secuil-seraya memberi isyarah pada lekukan di bawah jempolnya-karena telah memerdekakan Tsuwaibah’.”
Kisah Tsuwaibah ini menjadi dasar kuat legalisasi perayaan maulid Nabi. Logika sederhanya, Abu Lahab saja-yang telah di cap celaka ukhrawi dalam surah al-Lahab-turut mendapatkan keringanan siksa dari Allah lantaran pernah memerdekakan Tsuwaibah sebagai ekspresi bahagianya menyambut kelahiran anak saudaranya, Muhammad bin Abdillah.
Lalu, bagaimana dengan umatnya yang selalu bershalawat di setiap bakda shalat dan merayakan kelahirannya tanpa pandang waktu dan tempat, terutama pada bulan Rabiul Awal!? Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah (juz II, hal. 273) mengatakan;
لمّا بشرته ثويبة بميلاد ابن أخيه محمد بن عبد الله أعتقها من
ساعته فجوزي بذلك لذلك
Artinya, “Ketika Tsuwaibah memberi kabar gembira kepada Abu Thalib tentang kelahiran anak saudaranya, Muhammad bin Abdillah, ia pun langsung memerdekakan budak perempuannya itu seketika juga. Karena hal ini, Allah meringankan siksanya.”