Misalnya, ada kitab yang di kaji menjelaskan perihal jihad berperang. Bagian ini tentu sudah tidak sesuai dengan zaman dan kondisi terkini.
Namun, teks yang menjelaskan hal tersebut tetap di baca dan di pelajari, tetapi di pahami sebagai khazanah pengetahuan bahwa dulu ada syariat demikian.
Zaman yang terus berkembang dinamis juga menuntut agama untuk terus mengikutinya. Para ulama pun terus memproduksi karya terbaru menyesuaikan isu-isu terbaru yang belum ada di zaman dahulu.
Para santri juga di berikan pemahaman demikian, tidak saja secara formal melalui pengajian, tetapi juga bisa melalui bahtsul masail. Pemikiran mereka atas isu tertentu di ujikan pada forum tersebut guna menemukan realitas hukum yang tepat untuk masalah yang mereka diskusikan.
Di sinilah kitab kuning hadir menempati ruang relevansinya dengan kondisi zaman dan ruangnya. Hal ini pula yang menjadi poin penting dalam penilaian ajang MQK Nasional.
Bahasa pemaknaan
Kitab kuning juga menghubungkan peradaban melalui bahasa dalam pengajarannya. Mayoritas sivitas akademika pesantren masih menggunakan bahasa daerah dalam melakukan pemaknaan atau penerjemahan teksnya.