Para santri biasanya akan membubuhi makna setiap kata yang di sampaikan kiainya di bagian bawah teks pada kitabnya masing-masing.
Proses penulisan makna itu, mengutip Iip Dzulkifli Yahya dalam Ngalogat di Pesantren Sunda Menghadirkan yang Di mangkirkan dalam Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (2009), di sebut sebagai ngalogat dalam tradisi Sunda dan maknani, ngapsahi, atau ngesahi dalam tradisi Jawa. Beberapa literatur ada juga yang menyebutnya njenggoti dalam tradisi Jawa.
Pemaknaan itu tidak hanya menerjemahkan kata, tetapi juga menunjukkan fungsi-fungsi gramatika nya dengan membubuhi artikel khusus.
Seperti utawi (Jawa), adapun dan bermua (Melayu), atau ari (Sunda) untuk menunjukkan fungsi mubtada (subjek).
Kemudian, di tandai dengan mim yang berbentuk tegak; iku (Jawa), itu (Melayu), nyaeta (Sunda).
Untuk menunjukkan fungsi khobar (predikat) dan di tandai dengan kho; sopo (Jawa); dan sebagainya.
Hal ini guna memudahkan para santri dalam mengetahui fungsi gramatika dari setiap kata.